Waktu berlalu dan perlahan aku menyadari apa yang harusnya aku syukuri adalah apa yang ada di depan mata, yaitu bibiku yang sekarang membesarkanku layaknya seorang anaknya sendiri. Aku telat menyadari hal itu tapi beruntungnya aku masih menyadarinya.
Meski kemudian bibiku sakit dan aku merawatnya dengan perasaan yang campur aduk. Hari-hari yang berlalu dengan merawatnya benar-benar hari yang emosional bagiku. Semua perasaan sedih, lelah, marah dan kesal pada diri sendiri, merasa dunia tidak adil, semuanya bercampur jadi satu dan aku merasa masa itu adalah hari terpanjang yang aku harap segera berlalu sekaligus sebaliknya.
Aku khawatir dan takut seandainya hari-hari yang berat itu berlalu maka artinya sebenar-benarnya berlalu, aku tidak lagi merawat bibi karena ia pergi. Dan memang akhirnya itu terjadi.”
Aku menundukkan pandangan menatap kedua tanganku di meja dan melirik singkat kak Nova. Ini pertama kalinya ia mengetahui kalau ibuku sudah tiada dan cerita-cerita yang mengiringinya. Kuseka air mata yang menetes perlahan dari kedua pipi, memaksa sedari tadi tapi terus saja kutahan.
“Sejak itu aku sedikit merasa bingung hidup untuk apa, untuk siapa, meskipun aku tahu dan sadar masih ada ayah dan pamanku yang tentu mereka mendukung aku tapi kami nggak dekat sebagaimana aku dengan ibu dan bibiku.
Makanya aku pun nggak menyayangi mereka seperti ibu dan bibiku, dan aku jadi nggak terlalu ingin membanggakan mereka. Akhirnya aku cuma menjalani hidup ya sekedar untuk hidup tanpa tahu tujuan berikutnya aku ingin apa. Kadang kala aku memaksa diri untuk menciptakan mimpi yang membuatku bergairah untuk meraihnya dan membuat lebih lama terjaga.
Beberapa kali aku berhasil, sesederhana ingin dapat nilai A dan indeks bagus, atau ingin punya kulit yang sehat sehingga aku harus jaga pola hidup mulai dari makanan, olahraga, dan skincare. Atau ingin membaca banyak buku supaya bisa dibagikan dan orang-orang tahu pendapatku tentang buku itu. Tapi rasanya lama-lama melelahkan dan memuakkan.
Nggak ada hal yang aku temukan dan benar-benar membuatku bergairah menjalani hari-hari. Sampai ada suatu masa aku cuma pengen mati. Saat masa itu datang, pertama kali aku membuka mata di pagi hari rasanya aku sudah dipenuhi rasa sesal dan kesal.
Ah kenapa aku masih bisa membuka mata, kenapa aku masih harus menjalani hari dan memikirkan apa yang harus dilakukan seandainya menghadapi hal di luar dugaan.
Belum apa-apa kak, baru buka mata pikiranku udah ke mana-mana, kacau, dan sialnya aku terus diam memikirkan macam-macam hal padahal ya aku ingin mengakhiri pikiran seperti itu. Aku ingin menjalani hari-hari tanpa banyak berpikir, bahkan kalau orang akan mengataiku pun nggak masalah. Melelahkan sekali berdebat sendiri di dalam kepala.”