Waktu sudah berlalu lebih lama dan air mataku sedari tadi terus mengalir tanpa isakan. Aku tidak tahu aku bisa menangis setenang ini, hanya air mata yang terus mengalir deras dan dada sesak tapi aku tidak benar-benar terisak hebat seperti biasanya.
“Maaf kak, kalau dengan begini aku terkesan mempermainkan perasaan kak Nova.
“Kak Nova pernah cerita kan, hal yang paling berharga dan ingin kak Nova bahagiakan adalah keluarga kak Nova. Kalau aku…” aku terdiam sebentar dan menerawang ke depan.
“Ibu dan bibi aku.
Tapi karena mereka udah nggak ada, aku nggak tahu apa yang sebenarnya bisa membuat mereka bahagia. Awalnya itu membuat aku merasa nggak ada lagi yang bisa dan ingin aku bahagiakan. Tapi lambat laun aku mulai berpikir, mungkin kalau aku bahagia maka mereka pun bahagia.
Lama-lama aku menyadari, ya memang aku harus bahagia dulu sebelum mau membahagiakan orang lain. Karena dulu aku pernah berpikiran it’s okay if I can’t save myself, as long as I can save others,” aku tertawa mengingat pikiranku dulu.
“Tapi setelah aku pikir lagi, ya bagaimana aku bisa save others if I can’t save myself first. Dari mana aku bisa tahu arti bahagia tanpa bisa bahagia lebih dulu?”
Tangisku sudah lebih reda dibandingkan sebelumnya. Kulirik kak Nova yang terdiam menghadapku dan menatap lurus pada meja. Entah apa yang sedang ia pikirkan, aku tidak menyesal memberi tahu ini semua karena memang sudah berencana memberi tahunya begitu konselingku selesai.
Meski sekarang konselingku belum selesai – sebenarnya sudah kuputuskan selesai sejak terakhir kali aku bertemu ibu psikolog – tapi aku sudah lebih bisa mengontrol perasaanku. Apalagi mendengarkan semua yang terucap dari kak Nova sejak awal kami duduk berdua di sini.
“Akhir-akhir ini aku banyak nulis. Apapun, kapanpun, di manapun. Aku selalu dekat dengan buku catatan jadi bisa mengungkapkan perasaan secara langsung, real time,” aku tertawa mengatakan real time yang hanya dibalas tatapan datar.
“Sejak dulu aku suka nulis, tapi lama-lama hobi itu tergerus oleh kesibukan? Karena aku udah jarang banget nulis lagi sejak kuliah dan beneran baru-baru ini aktif nulis lagi. Tahu kak, rasanya aku lebih bisa jujur sama diri sendiri.
Aku nggak bisa menulis apa yang nggak terjadi atau yang nggak aku rasakan, karena aku akan merasa aku bohong pada mataku yang melihat tulisan itu atau bibirku yang nanti membaca lagi tulisanku. Semua yang aku tulis pada akhirnya adalah apa yang benar-benar terjadi dan aku rasakan.
Aku juga mulai berusaha lebih menerima diri sendiri, mulai dari diri sendiri dan terasa berat karena aku belum terbiasa? Karena aku pernah begitu benci dan menyalahkan diri sendiri sampai ingin mati. Menerima keadaan memang sulit, tapi menurutku menerima diri sendiri jauh lebih sulit.”
Tatapan mata kami bertemu. Ekspresi kak Nova datar dan sedikit kutangkap iba di kedua matanya.
“Jadi, apa yang sangat ingin kubahagiakan? Ya diriku ini,” kataku sambil membuka kedua tangan dan tertawa singkat.