Mungkin setiap orang harus merasakan bagaimana serunya mencintai sendirian. Mungkin setiap hati harus merasakan bagaimana hebatnya bertahan dalam ketidakjelasan. Mungkin kini, telah tiba giliranmu untuk patah hati. Percayalah, tak akan ada kelelahan yang akan dikhianati. Termasuk lelahnya mencintai seorang diri.
Aku membaca buku berjudul Hilang milik Nawang Nidlo Titisari. Sudah sejak lama aku ingin sekali membaca bukunya dan baru sekarang mengetahui kalau buku tersebut tersedia di aplikasi iPusnas. Isi bukunya benar-benar menggambarkan bagaimana seseorang yang mencintai seorang diri kemudian patah hati karenanya. Aku bisa bilang aku sangat relate dengan banyak kalimat di buku itu.
Perasaan manusia bagaikan dalamnya lautan dan luasnya alam semesta. Tidak mudah untuk dipetakan, dipahami, atau dipelajari. Perasaan manusia jauh lebih kompleks dibandingkan ilmu sains yang sudah pasti. Aku paham itu, begitu pula perasaan kak Nova padaku.
Tidak sepenuhnya aku bisa paham apa dan bagaimana sebenarnya perasaannya padaku, mengapa dulu dan kini berbeda. Mengapa ia pernah bersikap begitu manis tapi kemudian menjauh. Aku tahu di setiap tindakannya pasti ada alasan, meskipun mungkin kalau ia jabarkan alasannya padaku, aku belum tentu sepenuhnya menerima dan paham alasannya.
Lagi-lagi, ia selalu mengandalkan logika sementara aku mengandalkan perasaan. Dan itu menjadi boomerang bagiku karena aku berkali-kali mengatakan pada diri sendiri, menumbuhkan harap agar terus menerima kak Nova kalau suatu saat ia kembali bersikap manis. Aku tahu. Sungguh aku tahu orang mungkin akan mengataiku bulol atau bucin tolol.
Aku pun mengakui. Kalau dipikir dengan pikiran jernih, untuk apa mengharapkan seseorang yang bahkan tidak benar-benar menghargai dan mengharapkan kita juga? Untuk apa mengusahakan orang yang bahkan tidak menanggapi usaha kita? Aku tahu itu semua. Aku sadar. Tapi perasaanku berkata lain. Ia tidak mau menuruti pikiran jernih tersebut.
Perasaan yang terlalu sering dipupuk jadi sulit untuk diredakan. Aku jadi muak kalau ada orang yang tahu kedekatanku dengan kak Nova menanyakan bagaimana hubungan kami, karena aku harus menegarkan diri untuk menjawab “Buat apa berjuang sendirian? Mending jadi wiraswasta.” dengan tegas padahal jauh di lubuk hatiku begitu pedih.
Aku ingin menyalahkan kak Nova atas dasar ia tidak menghargai perasaanku, tapi aku juga bersalah karena masih saja mengharapkan dia dan barangkali sikapku padanya selama ini sebenarnya cukup mengganggunya. Lagi-lagi aku disadarkan bahwa untuk masalah perasaan tidak ada yang sepenuhnya bisa disalahkan.
Aku dan kak Nova akan sama-sama merasa bersalah atau juga sama-sama merasa benar. Entah apakah ada kesalahan komunikasi antara kami. Entah apakah ini semua salahku yang terlalu berharap banyak pada kak Nova dan hubungan kami. Entah apakah ini semua salah kak Nova yang menghancurkan hubungan kami yang akan jadi sempurna seandainya ia mengikuti saja alur pria-wanita yang saling berusaha saling menyukai.
Hari-hari berlalu begitu berat. Aku membaca postingan di Instagram Taylor Swift, ah ya akhir-akhir ini aku mendengarkan lagunya dan jadi begitu suka sekali. Ada satu postingan di foto album Red miliknya.
I’ve always said that the world is a different place for the heartbroken. It moves on a different axis, at a different speed. Time skips backwards and forwards fleetingly. The heartbroken might go through thousands of micro-emotions a day trying to figure out how to get through it without picking up the phone to hear that old familiar voice. In the land of heartbreak, moments of strength, independence, and devil-may-care rebellion are intricately woven together with grief, paralyzing vulnerability and hopelessness. Imaging your future might always take you on a detour back to the past.