Suhu udara nyaman saat itu, tidak panas atau pun dingin. Sekawanan burung mulai terlihat di langit setelah mengakhiri puasa mengepakkan sayap mereka menerobos badai salju. Tunas baru muncul malu dekat tanah sementara di ujung batang, daun kembali tumbuh dan berbunga.
Tampak sepanjang mata memandang ke arah timur nagari Cheduge, sekelompok anak, pemuda, dewasa dan juga orang tua ikut tumpah ruah di sabana Elea. Sabana yang menurut penduduk nagari Cheduge menjadi saksi mata perang suci ke-3, perang kemenangan bangsa AL untuk kali pertama. Sabana di mana tanahnya disuburkan oleh darah ksatria, dicukupkan paparan sinar matahari dari Tuhan.
“Ayolah, kemarilah ikut berlomba denganku dan Choco!” ajak Pepe ke arah Saga.
Pepe Reinola. Gift Master AL, remaja tanggung tujuh belas tahun, berperawakan gemuk, berkulit nyaris hitam kelam, berambut gimbal.
Choco. AL berjenis Tikus. Entah mengapa disebut Choco. Mungkin jika Pepe kelaparan. Choco bisa jadi kudapan chocolate paling dekat dan dirasa paling nikmat.
Menjadi hal yang umum dan biasa di nagari Cheduge. Penduduk berkawan erat dengan binatang. Bukan binatang biasa namun juga sebagai teman berperang dan tentunya simbol kehormatan bagi empunya, sang Master AL.
Saga menengok dengan mimik muka malas, dilihatnya Pepe tengah bersama Choco bermain mini tinju-dua paku ditancapkan ke tanah, karet gelang dihubungkan di antara paku, diselipkan dua semak yang kemudian diibaratkan petinju, digosok-gosok batu tepat diatas paku, sehingga menimbulkan efek kinetik.