Tiga tahun kemudian.
Aku sedang didandani di kamarku.
Kali ini aku ditemani seorang penata rias bergaya kemayu, langganan ibuku, Nobi. Setelah memakaikan kemeja putih padaku, Nobi memperbaiki ujung lengan kemeja itu dan menata rambutku. Karena sudah lama menjadi penata rias langganan ibuku, Nobi juga cukup dekat denganku.
“Tapi setelah dari hukuman itu, kamu malah jadi dekat dengannya kan? Kayak novel-novel gitu, yang awalnya benci terus jadi rindu.” Canda Nobi sedikit tertawa dengan gaya kemayunya sambil lanjut merapikan kerah bajuku bagian belakang. Aku hanya tersenyum mendengarnya.
Aku mengambil ponselku yang tergeletak di atas meja, lalu membuka galeri foto, melihat beberapa foto aku dan teman-teman mahasiswa sewaktu KKN di sebuah desa. Sungguh, masa KKN adalah masa yang paling indah selama aku menjalani pendidikan di bangku kuliah.
***
Hari pengumuman pembagian lokasi KKN.
Aku sedang duduk di salah satu sudut kampus. Menghisap sebatang rokok sambil menatap layar ponsel.
“Ikut aku.” Suara Naina membuatku mendongakan kepala, melihatnya.
“Kemana?” Tanyaku yang sedikit kaget melihat kedatangannya dengan napas yang memburu setelah berlari dari gedung rektorat. Naina menghela napas dan langsung menarik tanganku, berjalan terburu-buru, melewati kerumunan mahasiswa di depan gedung rektorat, dan kami berdua pun masuk ke dalam gedung rektorat. Aku begitu pasrah saat ditarik Naina.
Aku dan Naina menghadap pak Koni. Pak Koni adalah dosen yang mengatur penempatan lokasi mahasiswa-mahasiswa KKN. Naina merupakan salah satu mahasiswa yang banyak dikenal dosen karena IPK-nya selalu paling tinggi se-fakutas ekonomi, jadi untuk hal-hal seperti ini dia tidak begitu kesulitan untuk melakukan negosiasi.
“Pak, masih bisa pindah lokasi kan?” Tanya Naina dengan nada sedikit memaksa ke pak Koni.
“Nama lengkap kamu?” Tanya balik pak Koni.
“Barah Prananta.” Jawab Naina. Aku sedikit menoleh, heran. Belum mengerti sepenuhnya aku mau dipindahkan ke lokasi mana.
“Sebenarnya siapa yang mau pindah? Dia atau kamu?” Tanya pak Koni lagi.
“Dia pak, pindahin deket lokasi saya.” Jawab Naina sedikit menahan kesal atas pertanyaan pak Koni.
Aku hanya terdiam selama kami berada di ruangan pak Koni. Aku memang sedikit pendiam, bahkan Naina dan teman-teman dekatku yang lain mengenalku sebagai sosok yang selalu irit dalam berbicara. Berbeda dengan Naina yang begitu aktif. Aku mengenalnya sebagai perempuan yang cerdas. Aku terus memperhatikan Naina. Selain cerdas, Naina yang sekarang sangat berbeda dengan Naina saat ospek dulu. Sekarang ia terlihat lebih cantik dengan rambut lurusnya, tutur katanya yang lembut, dan cara berpakaian yang selalu terlihat casual. Kami berdua hanya bersahabat, tapi dia begitu baik dan perhatian padaku, membuatku merasa hubunganku dengannya lebih dari sekedar sahabat.
Kami kini berjalan hendak keluar dari gedung rektorat. Naina bercerita soal kenapa tadi kita harus menghadap ke pak Koni, itu karena saat Naina melihat papan pengumuman penempatan lokasi KKN ia tidak melihat namaku ada dalam satu lokasi yang sama dengannya. Aku mengangguk-anggukan kepala, mendengarnya. Kami berjalan berdampingan. Aku berjalan satu langkah lebih cepat dari Naina. Beberapa saat, aku menoleh ke arah Naina, ia sudah menghentikan langkahnya beberapa meter di belakangku.