Nobi baru saja selesai menyemprotkan hair spray ke rambutku.
Aku mengusap pelan rambutku, menata sendiri dengan tangan. Aku kembali melihat layar ponselku, membuka instagram lalu melihat story instagram Naina yang memperlihatkan ia sedang didandani oleh seorang penata rias yang juga kakak sepupunya. Di video story itu, aku melihat Naina begitu anggun mengenakan kebaya berwarna putih. Aku memfokuskan pandangan pada matanya, hidungnya, bibirnya, tapi aku tidak menemukan rumus untuk mengejeknya seperti Pak Habibie mengatakan "kamu jelek, hitam seperti gula jawa" kepada Ibu Ainun dalam film Habibie Ainun. Naina terlihat sangat cantik dan mempesona hari ini, meskipun aku hanya melihatnya dari layar ponsel. Aku tersenyum dalam tatapanku.
Pintu kamarku diketuk, membuatku menoleh. Nobi berjalan ke arah pintu, hendak membukanya.
***
Pintu terbuka, Mamat yang membukakan pintu.
“Oh, lu.. kenapa gak masuk aja, gak dikunci kok pintunya.” Mamat berkata padaku sambil berjalan ke ruang tengah posko.
“Sory nih, gue kelamaan minjem motor lu, soalnya tadi masih ada urusan sama kordes gue.” Aku berjalan masuk ke dalam posko. Di ruang tengah posko itu aku melihat ada Naina dan Ima yang sedang duduk di sofa. Tiba-tiba Naina melemparkan bantal sofa ke Mamat.
“Boong banget si lu jadi orang.” Ucap Naina ke Mamat.
“Boong apaan? Emang bener kan dia akamsi. Orang tuanya kan tinggal di kota daerah sini.” Jawab Mamat, membela diri sambil melihat ke arahku. Mamat benar, orang tuaku memang tinggal di kota ini karena Ayahku membangun sebuah Resort di pulau ini.
Aku hanya tersenyum melihat Mamat dan Naina beradu mulut.
“Iya, tapi bilang aja kalo dia, gak usah sok sok disembunyiin kayak tadi. Kalo lu bilang akamsi doang yang minjem motor lu kan kita mikirnya warga sini yang minjem.” Naina berucap dengan nada kesal ke Mamat, sesekali ia melirik padaku. Aku baru mengerti, ternyata Mamat mengatakan pada Naina kalau sepeda motornya dipinjam oleh anak kampung sini. Mungkin maksud Mamat baik, untuk memberi kejutan kepada Naina atas kedatanganku, tapi bukannya terkejut, Naina justru merasa kesal. Tapi aku tahu, kekesalan Naina itu hanya setting-an seperti acara di televisi jaman sekarang. Naina pura-pura kesal seperti itu untuk menyembunyikan rasa bahagianya ketika melihatku.
Aku kini sudah duduk di samping Mamat. Mamat memanfaatkan kehadiranku untuk terus-terusan meledek Naina. Mamat berjalan ke arah luar posko sambil bernyanyi lagu yang tidak jelas hanya untuk meledek Naina. Ima pun berdiri dari tempat ia duduk sebelumnya, lalu masuk ke kamar meninggalkan aku dan Naina di ruangan itu. Ya menurutku, mereka berdua sahabat yang cukup pengertian.
“Tadi pagi kemana?” Walaupun aku sudah tahu jawaban dari pertanyaanku, aku sengaja bertanya untuk memecah kecanggungan yang sedari tadi menyelimuti Naina.
“Kapan nyampenya?” Naina bertanya balik, mengalihkan pembicaraan. Naina tak ingin menjawab pertanyaanku. Sepertinya tebakanku benar, Naina habis menelepon Aldo, tapi ia tak ingin mengatakannya. Sejak bersahabat, aku dan Naina memang jarang sekali menceritakan soal asmara kami masing-masing, bahkan hampir tak pernah. Mungkin karena kami sadar bahwa persahabatan di antara kami berdua ada secuil rasa sayang, sehingga kami saling menjaga perasaan.
“Tadi pagi. Turunnya di sini, tapi tadi hanya ada Mamat, makanya aku pinjem motornya buat naroh barang di posko aku.” Aku menjawab santai. “Posko aku di desa sebelah.” Aku melanjutkan.
“Kemaren siapa yang anterin kamu ke pelabuhan?” Tanya Naina, sedikit menyelidik. Aku tak mungkin menjawab, karena seperti yang sudah-sudah, saat aku menyebut nama Cici atau bilang ke Naina kalau aku lagi bersama Cici, pasti raut wajah dan suasana hati Naina langsung berubah. Semenjak kenal, Naina memang mengetahui hubunganku dengan Cici, bahkan Naina dan Cici juga saling kenal dan pernah bertemu beberapa kali. Aku pernah membawa Cici ke suatu acara di kampus, dan pada saat itu Naina juga ada di acara tersebut.
Beruntungnya sebelum aku menjawab, pembicaraan kami terpotong oleh bunyi sepeda motor Mamat yang bising. Mamat memanggilku dari luar posko dengan sedikit berteriak untuk mengimbangi suara motornya. Aku melihat raut wajah kesal dari Naina. Suara dalam hati Naina seolah berkata "ngapain sih Mamat harus teriak-teriak, kan bisa matiin dulu sepeda motornya, dasar bego". Kurang lebih seperti itulah voice over Naina jika ini adalah sebuah sinetron.
Mamat memanggilku untuk ikut dengannya pergi menemui Camat di wilayah lokasi KKN kami. Aku adalah sekretaris koordinator kecamatan, dan Mamat adalah koordinator kecamatan di wilayah kami. Kami biasa memanggil Mamat dengan sebutan Korcam.
Aku langsung pamit pada Naina tanpa menjawab pertanyaan dia sebelumnya. Karena kekesalannya, Naina menjawabku hanya dengan berdehem, memasang muka jutek, tanpa kata. Mendengar Mamat terus mendesakku, aku pun berlalu.
***
Aku dan Mamat bertemu Pak Camat di rumahnya, kami berbincang soal rencana program yang akan kita laksanakan di wilayah ini, mulai dari penyuluhan pertanian, penyuluhan kesehatan, pembangunan fasilitas olahraga seperti lapangan voli, hingga pembangunan fasilitas umum seperti MCK di setiap desa. Pak Camat merespon baik rencana program kami di wilayahnya.