Berangkat ke kota.
Pagi ini aku dan Naina berdiri di tepi jalan menunggu bus angkutan pedesaan yang rutin setiap pagi-sore selalu lewat di desa ini. Naina menggendong tas punggungnya dengan bahu kanan. Aku sedang mengikat tali sepatuku yang terlepas sambil berjongkok. Bus tiba dan langsung berhenti ketika melihat kami yang sejak tadi sudah berdiri di depan posko. Aku dan Naina langsung naik ke bus. Kami berjalan mencari bangku yang masih kosong sambil tersenyum ramah kepada para penumpang yang sudah lebih dulu ada di dalam bus tersebut.
Banyak penumpang di sana. Terlihat barang bawaan penumpang memadati kabin bus, ada yang membawa ayam beserta kandangnya, kardus berisi umbi-umbian, dan beberapa kas terbuat dari bambu yang berisikan tomat. Aku dan Naina duduk berdampingan, bus pun melaju. Aku mengeluarkan ponselku untuk mendengarkan musik selama perjalanan. Astaga, ponselku lowbat. Melihat itu, Naina menawarkan power bank miliknya, aku menolak. Aku memang sengaja tidak me-charge ponselku dari semalam agar Cici tidak dapat menghubungiku, karena aku tahu seharian ini aku akan bersama Naina.
Dalam perjalanan, Aku bertanya kepada salah satu penumpang yang sudah cukup berumur.
“Om, kapal yang mau ke kota seberang jadwal berangkatnya sore ya?”
“Iya. Nyampenya malem.” Jawab bapak paruh baya itu.
“Dijemput Aldo?” Aku bertanya pada Naina. Pertanyaanku tampaknya membuat Naina tersentak. Naina mengangguk, menatapku. Aku yang duduk tepat di samping jendela kini memalingkan wajah ke arah luar jendela.
“Marah?” Tanya Naina ketika melihatku memalingkan wajah. Aku tak menjawab dan tetap menatap ke arah luar. “Barah.” Naina memanggilku dengan lembut sambil menarik dan menggenggam tanganku. “Kamu juga dijemput Cici kan?” Naina memberanikan diri bertanya seperti itu agar aku mau membuka mulutku untuknya.
“Mungkin.” Jawabku singkat. Naina melemah, melepas genggaman tangan karena merasa usahanya membujukku tak berhasil. Karena kasihan melihatnya memelas, akhirnya aku menarik kepalanya, menyandarkannya di pundakku dan menggenggam erat tangannya, lalu aku mengusap-usap rambutnya. Naina menatap sejenak padaku dengan sedikit senyum tipis. Dalam hatiku bertanya-tanya apakah dia bisa menjaga perasaanku ketika dia bersama Aldo. Ah, sudahlah. Aku tak mau memikirkan hal-hal yang tidak membuat hatiku senang, apalagi sekarang senyumannya sangat membuat hatiku tenang. Tangan kanannya mengusap-usap lengan kananku yang sedari tadi ia peluk dengan tangan kirinya. Perlahan, gerimis mulai membasahi kaca jendela bus yang kami tumpangi. Naina mulai memejamkan mata.
Aku tidak tahu status kita apa, tapi yang pasti aku tak bisa menahan rasa cemburu saat mendengar nama Aldo dari mulutnya.
***
“Mungkin saat itu dia juga sama, selalu cemburu kalo aku lagi sama Cici.”
Mendengarku, Nobi tersenyum geli sambil merapikan peralatan make-upnya. “duuhh, emang ya hubungan kalian penuh misteri. Kalian berdua tu sama, sama-sama suka nyolong pacar orang” Ucap Nobi dengan sedikit tertawa membayangkan perjalanan cintaku bersama Naina. Aku menatap ke arah luar jendela, melihat langit yang tertutup oleh awan. Kaca jendela kamarku dibasahi oleh gerimis.
Botol hair spray milik Nobi terjatuh dari koper make-upnya.
***
Sebuah botol dot tergeletak di lantai koridor kapal. Melihat itu, Aku dan Naina yang sejak tadi berjalan di koridor kini perlahan mendekat. Samar-samar terdengar suara tangis bayi. Naina mempercepat langkahnya sedikit lebih cepat dari aku. Aku melihat Naina menunduk, mengambil botol dot itu lalu ia mendekat ke pemilik botol dot itu, seorang ibu yang sedang menggendong bayi yang sedari tadi terdengar suara tangisannya. Naina membantu menenangkan bayi itu, dan berhasil. Bahkan sang bayi sampai tertawa melihat tingkah kocak Naina yang berusaha menenangkannya.
Aku yang sedari tadi menghentikan langkahku, kini terus memperhatikan Naina. Aku tersenyum kagum dengan sikapnya, bak seorang ibu yang sedang menenangkan buah hatinya. Dalam hatiku seolah berbisik bahwa Naina adalah calon ibu terbaik untuk anak-anakku kelak. Menyadari aku yang tak bergerak ke arahnya, Naina menoleh ke arahku, mendapati aku yang masih tersenyum padanya dari kejauhan.
“Sini.” Naina memanggilku, aku mendekat. “Lucu ya.” Naina mengarahkanku melihat ke arah bayi yang lucu itu. Naina lanjut menggoda si dedek bayi.
Aku dan Naina meninggalkan si ibu dan dedek bayi itu saat ponsel Naina berdering, telepon dari pamannya yang bekerja di salah satu bank kenamaan negeri ini, Naina mengangkatnya.
“Ya, gimana ya. Aku lagi kkn soalnya.” Jawab Naina di telepon itu. “Padahal aku pengen banget om, ya kali aja diterima.” Naina melanjutkan, penuh semangat. aku tersenyum melihatnya.
“Kenapa gak diambil aja tawarannya? Kan kkn nya bisa minta ijin.” Aku bertanya setelah Naina menutup telepon.
“Iya juga sih.. hmm... tapi emang kamu bakal ngijinin aku ikut tes di bank itu? Hmm..” Naina bertanya dengan mengangkat kedua keningnya dan mendongakan kepalanya padaku.
“Pastilah... aku tuh selalu support apa yang kamu lakuin, selama itu buat kamu senang.” Jawabku dengan sedikit mendekatkan wajahku padanya.
“Aldo analis di bank itu loh. Kalo aku diterima, udah pasti aku bakal sering ketemu sama dia karena sekantor. Gimana? Kamu ijinin gak?” Naina bertanya sambil memajukan sedikit bibirnya, menunggu jawabanku. Aku tak menjawab, membuang pandanganku ke arah laut yang sudah gelap, membisu.
“Ya udah, aku gak ikut tes itu. Demi kamu, Bar.” Naina melanjutkan dengan lembut. Mendengar itu, aku berusaha menyembunyikan garis senyum di bibirku.
“Loh, kok gitu? Aku kan gak minta kamu buat gak ikut tes.” Aku pura-pura protes.
“Iya. Bibir kamu gak, tapi hati kamu? Udah ah. Gak usah dibahas.” Tutup Naina. Aku tersenyum malu.
Aku yakin Naina pasti tahu kalo aku bahagia mendengar apa yang baru saja dia katakan.
Bunyi sirine menandakan kapal akan segera bersandar di pelabuhan. Menikmati perjalanan bersama Naina membuatku merasa kapal ini terlalu cepat sampai, harusnya lebih lama lagi.
Suasana pelabuhan malam ini.
Banyak kapal berlabuh, penumpang mondar-mandir, ada yang naik dan ada pula yang turun dari kapal. Beberapa buruh pelabuhan terlihat menawarkan jasa mereka ke para penumpang yang membawa barang lebih dari satu. Aku dan Naina berada di tengah-tengah keramaian penumpang.
“Aku duluan ya.” Naina pamit padaku. Aku menganggukan kepala sambil tersenyum. Dari kejauhan aku melihat Aldo melambai ke Naina, Naina menghampirinya. Saat aku sedang memperhatikan mereka, samar-samar aku mendengar suara Cici memanggilku beberapa kali. Aku berusaha mencari keberadaan Cici di tengah suasana keramaian pelabuhan, aku berhasil menemukannya, ternyata jaraknya tak begitu jauh dari tempat Aldo memarkirkan mobil. Cici berdiri di samping sebuah taksi. Aku langsung menghampirinya. Begitu berat rindu Cici, ia langsung memeluk tubuhku erat-erat.
“Rindu.” Cici berkata manja.
Aku mengusap kepalanya, dan menatap wajahnya yang kini mendongak, menatapku dalam pelukan.
Dari seberang jalan, aku melihat Naina sedang memasukan barang ke bagasi mobil Aldo. Tiba-tiba Naina menoleh ke arah aku dan Cici yang belum melepas pelukan sejak tadi. Aku tak mungkin melepas pelukan Cici saat Naina melihat kami, karena itu akan membuat Cici curiga.
Cici melepas pelukan, bergegas masuk ke dalam taksi, sementara aku masih melihat Naina yang hendak masuk ke mobil bersama Aldo. Naina dan Aldo berlalu lebih dulu.
“Kak.. Kakak..” Cici memanggil, memecah lamunanku. Aku pun bergegas naik ke taksi itu. Kami pun berlalu.
Aku dan Cici dalam perjalanan menuju rumahku, kami berdua duduk di kursi belakang.