“hm... seru juga ya.” Ucap Nobi sambil menyiapkan sepasang sepatu formal berwarna hitam untukku.
Aku sedikit tertawa, mengenang. “Ni gue cerita sama lu, karena lu yang dandanin gue, jadi gue kasih bonus cerita buat bekal lu kalo punya cowok nanti. Eh, tapi lu mau nyari cowok apa cewek sih?” Aku mengakhiri kalimatku dengan tertawa lepas.
“Mau cewek mau cowok yang penting gak nyusahin dan harus ada duitnya bo.” Ucap Nobi dengan gaya kemayunya. “Eh, itu minuman lu yang dianterin tadi.” Nobi melanjutkan sambil menunjuk ke arah meja yang berjarak dua meter dari tempat aku duduk. Aku langsung berdiri, berjalan ke arah meja, mengambil sebuah gelas berisikan es kelapa muda, dan berjalan ke arah jendela sambil membawa es kelapa muda itu.
***
Aku menyodorkan sebuah gelas berisikan es kelapa muda kepada Naina. Kami berdua sedang beristirahat dari perjalanan panjang sore ini menuju lokasi KKN sambil menikmati es kelapa muda dari seorang pedagang yang mangkal di ujung jalan salah satu kampung di pesisir pantai. Motor matic milik Naina terlihat padat dengan barang bawaan kami.
“Bar, soal yang kemarin aku minta maaf ya.” Ucap Naina.
“Soal apa?”Aku pura-pura tak tahu.
“Itu... yang waktu kamu nelpon aku.”
Naina mulai bercerita. Siang itu dia dan Aldo sedang makan di salah satu restoran. Aldo menjemputnya saat jam istirahat kerja, Aldo masih mengenakan seragam kerjanya. Sebelum masuk, mereka memilih beberapa menu ikan laut yang terpajang di depan restoran. Saat menunggu pesanan, dia dan Aldo berbincang-bincang soal kesibukan mereka masing-masing selama tidak bertemu beberapa hari belakangan ini. Naina dengan cerita-ceritanya di lokasi KKN, dan Aldo dengan cerita seputar pekerjaannya.
“Oh.. harusnya aku yang minta maaf karena udah ganggu quality time kamu sama Aldo.”
“Ah tau ah.. dasar aneh. Gak usah sok sok cuek gitu, Kalo cemburu, tinggal bilang aja cemburu, susah banget sih... ” Jawab Naina mendengar jawabanku yang tak memperlihatkan rasa cemburu.
“Aneh tapi ngangenin, kan?” Aku menggodanya.
“Yeee... ge er banget jadi orang.” Naina berdiri lalu berjalan mendekat ke penjual es itu. “Mas, nanti dia mau nyuci gelas-gelas kotor sebagai bayaran es kelapa yang kita minum.” Naina berkata ke penjual es sambil menjulurkan lidahnya padaku. Aku hanya tersenyum melihatnya.
Naina langsung berjalan ke tempat kami memarkirkan motor.
“Yuk, keburu malam.” Ucap Naina setelah menggendong ranselnya.
Aku pun berdiri dari tempat aku duduk, mengembalikan gelas sekalian membayar.
***
Aku sedang sibuk membuat laporan di laptop. Terdengar suara pintu posko diketuk. Kak Abdul keluar dari kamar dan membukakan pintu. Naina yang ada di balik pintu, kak Abdul menyapa Naina dan langsung menyuruhnya masuk.
Naina duduk di sampingku.
“Serius banget sih.” Naina menggodaku.
“Dalam rangka apa ke sini?”
“Dalam rangka kemerdekaan republik Indonesia.” Naina menjawab bodoh. “anterin aku pulang, nanti lanjut lagi buat laporannya.” Naina melanjutkan.
“Emang ke sini naik apaan? Gak bawa motor?” Aku bertanya, mengerutkan kening.
“Ada...” Naina menjawab, sedikit mengatupkan rahangnya.
“Terus? Kenapa nyuruh dianterin pulang?”
“Aku mau kamu aja yang pake motor aku, ya buat di posko kamu ini. Makanya aku minta kamu anterin aku pulang.” Naina menjelaskan.
“Oh gittu.. ya udah, bentar ya.” Jawabku, lanjut mengetik. Naina menunggu sambil terus memperhatikanku, sesekali aku mencuri pandang, melihatnya yang tampak manis dengan rambut terurai malam ini.
***
Hari demi hari berlalu. Aku dengan kegiatanku di posko, mengerjakan program KKN di desaku. Naina pun begitu, mengerjakan program KKN di desa Pondok Bening.
Dua minggu terlewati, hubunganku dan Naina semakin erat, tak pernah ada pertengkaran.
Hari ini aku datang ke posko Naina menggunakan sepeda motornya. Di posko mereka tampak sangat sepi di pagi itu, hanya ada Ima di sana. Ima memberitahu aku kalau Naina dan yang lainnya sedang mengerjakan salah satu program kerja mereka yaitu membuat lapangan voli di desa itu. Ima tidak ikut bekerja karena hari ini adalah hari piketnya membersihkan dan menjaga posko mereka. Aku masih duduk di atas sepeda motor, menoleh ke arah jalanan pedesaan, sedikit menggaruk ujung keningku.
“Bar, ke pantai sinyal yuk!” Ajakan Ima membuatku menoleh ke arahnya.
Aku tak menjawab, tak mengangguk, tak juga menggeleng. Aku hanya tersenyum kaku.
“Bentar ya.” Ima tampak bersiap, mengunci pintu posko mereka. Aku terdiam melipat dahi. “Yuk.” Ima melanjutkan, langsung naik ke sepeda motor, membonceng di belakangku. Karena tak punya alasan untuk menolak, akhirnya aku menuruti. Kami pun menuju pantai sinyal.
***