Aku sibuk menyiapkan dokumen-dokumen yang akan dibahas. Hari ini adalah hari pertemuan seluruh mahasiswa KKN sekecamatan kami yang terdiri dari enam desa. Camat, Kepala Desa dan tokoh-tokoh masyarakat sekecamatan hadir pada pertemuan itu untuk membahas program kerja mahasiswa selama KKN di wilayah tersebut.
Aku, Mamat, Kak Abdul, Anto dan keempat Kordes lainnya sedang berada di depan ruangan itu untuk membahas program kerja di tiap-tiap desa. Beberapa rekan mahasiswa lainnya berada di antara tokoh-tokoh masyarakat dalam ruang pertemuan itu. Aku membacakan laporan tentang perkembangan program kerja yang sedang berlangsung dan yang sudah selesai kami kerjakan. Pertemuan berlangsung secara formal dan selesai sesuai dengan yang diharapkan. Tapi sampai pertemuan selesai, Naina tidak terlihat di sana. Aku diam-diam memperhatikan.
"Ima, kok Naina gak datang? Tanyaku, mencoba mencari tahu keberadaan Naina.
Ima tak menjawab, ia hanya tercengang menatapku sebelum akhirnya memalingkan pandangannya, menoleh ke Mamat. Aku ikut melihat ke arah Mamat. Mamat hanya mengangkat kedua bahunya, tak menjawab. Sepertinya Ima dan Mamat menyembunyikan sesuatu dariku.
Aku mendekati Anto yang tak jauh dari tempatku berdiri.
"Aku pinjam kunci posko kalian." Aku berkata kepada Anto dengan sedikit menoleh tajam ke Mamat.
Anto ragu-ragu memberikan kunci itu, aku langsung meraihnya.
Aku mendatangi posko mereka menggunakan sepeda motor Naina yang selama ini ada padaku, mencarinya, tapi Naina tidak terlihat di posko itu. Aku mengusap wajahku, resah. Aku memutuskan untuk ke pantai sinyal.
Aku menghentikan sepeda motor di kejauhan setelah sempat melihat sepeda motor Mamat terparkir di pinggir pantai. Aku berjalan mendekat ke sepeda motor Mamat dan melihat Naina sedang menelepon sembari memandang ke arah laut. Aku mendekati Naina secara diam-diam, dan berhenti berdiam diri tepat dua meter di belakangnya.
“Aldo, kamu harus percaya sama aku.” Ucap Naina di telepon. Naina yang sedang serius menelepon Aldo tidak pernah menoleh ke arah belakangnya.
Aku tidak mendengar apa yang dibicarakan Aldo.
“Tunggu Aldo, dengar aku dulu.” Naina masih terus berusaha meyakinkan Aldo, berbicara dengan suara yang sudah hampir menangis. “Aldo, aku gak ada hubungan apa- apa sama Barah, kita hanya temenan. Tolong percaya aku, Aldo.” Naina terus-terusan memohon kepada Aldo.
Mendengar itu, dadaku terasa sesak, hatiku seperti diiris-iris dan ditaburi garam, wajahku terasa panas, tanganku gemetar, kunci motor Naina di genggamanku pun terjatuh.