Timeline program kerja terpampang rapi dan informatif. Di sebelahnya ada diagram statistik yang menunjukan perkembangan program kerja kami. Aku sedang menempelkan beberapa kertas untuk menandai perkembangan program kerja yang sedang berjalan. Aku bekerja sendirian, teman-teman seposko sudah tidur malam ini. Aku melirik jam di dinding menunjukan pukul sebelas. Seketika terdengar pintu posko diketuk dengan terburu-buru.
“Siapa?” Jawabku menanggapi.
“Ini gue. Cepet Buka.” Suara Mamat mendesakku segera membukakan pintu.
Mamat memberitahu padaku kalau Naina sedang dibawa ke puskesmas setelah menelan beberapa jenis obat berjumlah lebih dari dua puluh butir. Tanpa banyak tanya lagi, aku langsung meminta Mamat untuk segera mengantarku ke puskesmas itu.
Sesampainya di halaman puskesmas, aku langsung buru-buru melompat dari motor Mamat yang belum berhenti dengan sempurna. Aku berlari di koridor menuju ruang di mana Naina dirawat. Aku masuk di ruang rawat berpapasan dengan seorang perawat yang hendak keluar setelah memeriksa Naina.
Perawat itu kaget melihatku dengan napas memburu. “Udah dikasih penetralisir, dia gapapa kok.” Perawat itu berkata padaku. Aku mengangguk ramah.
Anto, Titi dan Muli berdiri di ruangan yang tidak terlalu besar itu. Ima duduk di samping ranjang, menjaga Naina yang masih belum sadarkan diri. Menyadari kedatanganku, Ima menoleh, berdiri dari tempat duduknya, menarikku keluar ruang rawat.
Aku dan Ima kini duduk berdua di bangku panjang depan ruang rawat.
Ima mulai menceritakan semuanya.
Badan Naina menggigil, terbaring di tempat tidur selama dua hari sejak tragedi di pantai sinyal. Naina lebih banyak melamun dan jarang makan. Ima juga yang membelikannya obat dan merawatnya di kamar posko mereka yang sederhana itu.
Ima juga menceritakan pertengkaran Aldo dan Naina berawal dari kedatangan kita ke rumah sakit saat menjenguk Ayah. Aldo mengetahui kedatanganku di rumah sakit bersama Naina dari salah satu temannya yang bekerja sebagai perawat di rumah sakit itu.
Dengan suara yang masih terbata-bata, Naina mengatakan pada Ima kalau ia ingin mengakhiri hubungannya dengan Aldo. "Dia memberikan ponselnya dan minta tolong ke gue untuk ngirim pesan yang udah dia konsep ke Aldo. Aku mengiyakan. Dan dia juga minta tolong ke Mamat untuk panggil lu datang ke posko kita untuk nengokin dia, tapi Mamat bilang lu gak mau.” Ima bercerita panjang. Aku terdiam, terus mendengarkan Ima.
“Dan akhirnya gue pun ke pantai sinyal, gue ngirim pesan itu seolah Naina yang mengirimnya. Dan Aldo menerima keputusan Naina yang menginginkan hubungan mereka berakhir. Dan, saat aku kembali ke posko, aku mendapati dia terbaring di lantai dengan mulut berbusa, obat-obatan berserakan di lantai. Lalu kami langsung membawanya ke sini.” Ima menghela napas sejenak. “Dia lebih memilih lu, Bar.” Ima mengakhiri kalimatnya dengan menangkat kedua bahunya dan tersenyum kaku padaku.
Aku masih terdiam, lalu menundukan kepala. Ada sedikit rasa menyesal karena telah merusak hubungan Naina dan Aldo. Keadaan semakin membuatku sulit untuk memilih Naina atau Cici.
“Sekarang lu masuk. Dia butuh lu.” Ima mendesakku.
Aku mendongakan kepala, menarik napas panjang, berdiri, lalu berjalan masuk ke ruang rawat itu.