Sembilan desember. Seminggu setelah KKN.
“Harsa, anterin gue ya.” Ucapku, buru-buru memakai sepatu di teras rumahku.
Harsa yang sedang asik bermain game online di ponselnya langsung menoleh ke arahku. “Mo kemana? Lu udah gak boleh kemana-mana.” Tanya Harsa, kembali menatap layar ponselnya.
“Iya. Makanya gue minta lu yang nyetir.” Aku berdiri setelah memakai sepatu, melemparkan kunci mobil ke Harsa. “Yuk!” Ajakku sembari berjalan ke arah mobil.
Harsa mendengus sebelum akhirnya ikut berjalan ke arah mobil yang terparkir di depan rumah. Saat hendak masuk ke mobil, Ayah keluar dari dalam rumah melihat kami yang hendak pergi.
“Kalian mau ke mana?” Tanya Ayah.
“Bentar doang Pa.” Jawabku, langsung masuk ke mobil. Harsa juga membuka pintu mobil, hendak masuk.
“Har, jangan lupa sekalian jemput tante di butik ya. Jangan terlalu sore, takutnya tante nunggu lama.” Ayah menyuruh kami untuk menjemput Ibu di butik langganannya.
“Iya om.” Jawab Harsa, langsung masuk ke mobil. Aku dan Harsa berlalu.
***
Sebelas desember dua ribu tiga belas.
Aku masih berdiri di dekat jendela kamar, tangan kiriku masih memegang segelas es kelapa muda sejak tadi. Tangan kananku memegang ponsel lalu membuka feed instagram Naina. Aku melihat gambar hitam polos baru saja dipostingnya delapan menit yang lalu tanpa caption. Aku mengerutkan kening. Nobi duduk di tempat tidurku dan terus memperhatikanku. Seketika Ibu masuk membawa sebuah jas berwarna hitam, menghampiriku.
“Sebelum mengucapkan ijab kabul, kamu harus betul-betul yakin sama pilihan kamu.” Ibu berusaha menguatkan aku. Aku tersenyum tipis, mengiyakan ibu.
Ibu memakaikan jas hitam itu padaku.
***
“Hallo Nai. Aku udah di jalan ni, mau ke situ.” Aku menelepon Naina. Aku dan Harsa masih dalam perjalanan.
“Sekarang?” Tanya Naina, terdengar lembut suaranya di telepon.
“Iya. Bentar lagi nyampe.” Aku menjawab tak kalah lembut.
“Oiya iya.” Jawab Naina.
Aku menutup telepon, tersenyum kaku. Aku menatap jalanan dari kaca jendela di sisi kiri, tatapanku kosong.
Kami sampai di depan rumah Naina.