Lima tahun kemudian.
Aku, Cici dan anak perempuan kami yang berusia empat tahun hendak liburan ke Bali. Aku mendapatkan hadiah liburan sekeluarga ini dari Perusahaan Advertising tempat aku bekerja.
Kini Kami sedang berada di ruang tunggu bandara. Penerbangan kita masih satu jam lagi.
Satu tahun pertama pernikahanku dengan Cici, kami langsung dikaruniai seorang putri yang cantik. Aku meminta Cici berhenti bekerja saat putri cantik kami lahir. Distro yang aku rintis sejak kuliah kini sudah berkembang menjadi lebih besar dengan mempekerjakan delapan orang karyawan. Selama lima tahun berumah tangga, aku dan Cici jarang sekali bertengkar. Walaupun Cici termasuk wanita yang keras kepala, tapi ia tahu kapan harus mengalah.
“Aku ke smoking area dulu ya.” Aku pamit ke Cici, hendak merokok sejenak karena jenuh menunggu.
“Iya.” Jawab Cici, menganggukan kepalanya. “Eh kamu mau kemana, Dek? Di sini aja. Papa mau ngerokok, gak boleh ikut.” Cici mencegah ketika melihat anak perempuanku yang cantik mengikutiku. Aku pun terus berjalan menuju smoking area.
Beberapa saat setelah menghabiskan sebatang rokok, aku kembali ke ruang tunggu. Dari jarak yang masih lumayan jauh, aku melihat Cici sedang sibuk dengan ponselnya, tapi aku tak melihat anakku di sana. Aku berlari kecil ke arah Cici.
“Tania mana?” Aku bertanya, sedikit panik.
Mendengarku, sontak Cici langsung mengangkat kepalanya yang sebelumnya menatap layar ponsel, kini menoleh ke kiri dan ke kanan, mencari.
“Tadi di sini, Kak.” Jawab Cici, panik.
Pandanganku menyapu sekeliling ruang tunggu, tapi Tania tak terlihat di sana.
“Kamu sih, sibuk maen handphone terus.” Aku memarahi Cici.
Cici diam tak menjawab, merasa bersalah, matanya terus mencari.
Aku memutuskan meninggalkan Cici untuk mencari Tania di sekeliling bandara. Aku berlari kecil dari gate tempat kami duduk hingga ke gate paling ujung, bertanya kepada para penumpang yang ada di sana, kepada cleaning service yang sedang membersihkan di sepanjang ruang tunggu bandara, kepada para penjaga food court, tapi tak ada satupun dari mereka yang melihatnya. Karena lelah, aku bersandar di salah satu mesin ATM, menatap langit-langit ruang tunggu.
Karena panik sejak tadi, sekarang aku baru terpikirkan untuk bertanya kepada petugas bandara. Dengan segera aku berjalan cepat menuju bagian informasi bandara itu, seketika pandanganku teralihkan, aku melihat Tania sedang berada di salah satu meja food court bersama seseorang yang memakai seragam petugas bandara dengan posisi membelakangiku. Aku langsung berjalan menghampiri mereka.
“Tania.” Aku memanggil setelah berada di posisi dengan jarak kurang lebih sepuluh meter dari mereka.