Melihat deretan karya yang kuhasilkan –puluhan novel, ratusan cerpen, beberapa antologi puisi. Ah, rasa-rasanya muncul kembali kerinduan yang susah kubendung. Kutahu kerinduan ini mengunjungiku dari jaman yang lama, kerinduan dari masa kecilku yang tak sepenuhnya indah namun penuh warna.
“Tuhan tak mungkin tak punya rencana, Kun. Dia tak pernah tidur.” Begitu kata-kata Ustad Basyar puluhan tahun lalu ketika menghiburku –ketika aku tengah gundah gulana membayangkan bentangan masa depanku yang masih sumir. Tapi tentu saja saat itu aku menggugat dan mempertanya esensi kalimatnya, rencana apa yang hendak Tuhan jabarkan dengan menumbangkan pohon di atas Emak-Bapak yang sudah sekuat tenaga menyelamatkan diri dari amukan angin puting beliung? Lantas, mengapa saat itu cuma aku yang selamat di dekapan Emak? Mereka berdua seharusnya selamat dari amukan angin bedebah itu, begitu pula dengan tetangga kiri-kanan serta kawan sepermainanku yang menjadi korban keganasannya. “Tuhan Mahabijak, Kun. Percayalah. Jika harapan manusia dikabulkan Tuhan sesuai keinginannya, maka semua itu terjadi atas dasar kemurahanNya. Namun jika harapan kita ternyata dijawab Tuhan dengan cara yang lain, mungkin itu semua terjadi atas dasar kebijakanNya. Tuhan tetaplah Tuhan, Kun. Dia Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,” Amboi. Membius benar kata-kata Ustad Basyar. Guru mengajiku yang baik dan bijak itu menempati kisah tersendiri di larik-larik buku hidupku. Setelah Emak, Bapak, Kakek, barulah Ustad Basyar. Nama-nama mereka bersemayam di podium kehormatanku, ketika doa-doaku terlantun sehabis shalat kutunaikan.
Saat berdiri di sela rak-rak toko buku seperti sekarang, menyaksikan deretan karya-karyaku dipajang berjajar, entah mengapa aku kembali terkenang petaka angin itu. Kuingat puluhan rumah dihambur tercerai-berai –pohon tumbang dijungkirbalikkan. Meski saat itu masih berusia empat tahun, ingatanku sangat jelas menggambar bencana itu –bencana yang menjadi titik balik perjalanan hidupku. Setelah Emak-Bapak meninggal, praktis aku kehilangan pegangan. Jiwaku kering. Kurasa ada lubang di hidupku. Namun kemudian lubang itu segera ditambal Kakekku yang lantas mengasuhku. Tapi, tentu saja Kakek mencurahkan cintanya dengan cara yang ia tahu. Ia mengasuhku dengan format cinta yang dikenal lelaki tua kepada cucunya.
Ah, Kakekku, kuingat lagi postur tubuhnya yang tinggi, kurus, punggungnya cenderung melengkung. Bentuk kepalanya bulat, hidungnya mancung, matanya menyipit serupa daun belimbing. Tatap matanya sayu –seakan memandang rembulan ketika purnama. Kemudian kuingat pakaiannya yang serba hitam. Baju, celana, sabuk, kopyah yang tersemat sedikit miring pun berwarna hitam. Hanya sarung yang tak berwarna hitam, tapi itu pun sudah pasti berwarna gelap. Kata tetangga kiri-kanan yang lantas kudengar, setelah puting beliung merenggut Emak-Bapak, kebiasaan Kakek jauh berubah. Kata tetanggaku lagi, Kakek sedang membuat jarak dengan Gusti Allah. Ah, aku tak tahu apa maksudnya, dan aku tak peduli dengan itu. Yang jelas bagiku dia lebih dari segalanya. Dan, dia pandai menyenangkanku. Kuingat ia selalu terkekeh ketika aku sedikit nakal dan meminta gendong di punggungnya.
“Kakek harus jadi kuda! Kakek harus menggendongku seperti si Toing digendong Bapaknya!!” pintaku saat itu. Ah, aku ingat betul peristiwa itu. Kakek terkekeh panjang menanggapi rajukanku.
“Tenanglah, Cung. Meski sedikit encok, punggung Kakek masih lebih kuat dibanding punggung Bapak si Toing. Ayo, naik! Pegangan yang kuat!” demikian Kakek berujar sambil menepuk-nepuk punggung seperti kuli pengangkut beras. Dipanggilnya aku Kuncung, panggilan kesayangan buatku. Setelah itu aku digendongnya, kami melangkah berkeliling rumah. Kakek menggendongku dengan sedikit menari, terkadang mengayunku, terkadang bergerak maju mundur laiknya kuda lumping. Tak lupa ketika beraksi, bibirnya menirukan bunyi gemeletak tapal kuda beserta ringkikannya. Ah, Kakek, kuingat betul dia menyenangkanku dengan sempurna. Kekehan tawa dan batuknya ketika lelah, kalimatnya yang memelas memohon ampun agar sang kuda beristirahat, kami pun selalu berhenti di pelataran rumah sambil memandangi benda langit yang bercahaya di kala malam. Kuingat saat menyaksikan kerlingan benda-benda itu, jiwaku diliputi rasa syahdu, sementara Kakek, ah tidak, seringkali kudapati ia menyeka kelopak matanya,