Sepulang mengaji, di jalan sambil melangkah menuju rumah, seperti biasa kudengar suara Kakek menyenandungkan tembang syahdu. Suara sedih tergambar, suara letih nan ringkih dari lelaki tua yang pasrah menjalani sisa hidupnya.
“Sudah pulang, Cung?” Sapa Kakek setibaku di depannya. Ia tengah duduk santai sembari jemarinya menggamit lintingan tembakau.
“Sudah, Kek,” jawabku penuh bakti. “Oh iya, ada salam dari Ustad Basyar,” lanjutku.
“Wa’alaikum salam,” timpalnya lirih. Bibirnya lantas mengerucut menyemburkan asap rokok.
“Kau sudah mau tidur, Cung?” tanyanya kemudian.
“Iya, Kek. Aku mau tidur,” jawabku singkat “Kalau begitu, ayo Kakek temani, Kakek punya dongeng baru buatmu,” sambung Kakek yang kemudian bangkit dan membuang lintingan rokoknya. Kami berdua lantas berjalan ke dalam rumah. Kitab suci Alqur’an kuletakkan di dalam lemari.
Tak lama berselang, aku pun berbaring di tempat tidur, Kakek duduk di pinggir tempat tidurku sambil menatapku haru.
“Ustad Basyar juga sering mendongengiku, Kek” celetukku menatapnya.
“Oh iya?”
“Iya, sehabis mengaji, dua minggu sekali.”
“Pandaikah gurumu bercerita?” tanya Kakek antusias.
“Pandai sekali, Kek.”
“Pandai mana dengan Kakekmu ini?” tanyanya yang tersenyum menggoda.
“Tentu lebih pandai Kakek. Kakek tak ada duanya kalau mendongeng. Kakek juara dunia,” ujarku yang tertawa kecil. Ia pun terkekeh berkepanjangan.
“Malam ini kisah tentang apa, Kek?” tanyaku memotong tawanya. Ia lantas terbatuk.