NOW OR NEVER

Tuan Typo
Chapter #1

Bab 1

Keringat tak hentinya mengucur deras di kening, juga seluruh tubuh. Ia menggeliat saat hawa panas mulai merayap ke balik kaos merah muda yang melekat di tubuhnya. Hampir setiap benang pakainnya basah oleh keringat. Rambut hitam panjangnya tergerai berantakan di bantal yang menjadi sandaran kepala.

           Mimpi buruk itu kembali menyerang. Untuk ketiga kalinya ia harus terbangun pada dini hari. Di jam yang sama dengan mimpi yang berbeda tetapi sama buruknya. Seolah-olah setiap mimpi adalah satu keterkaitan. Mimpi pertama diperkuat mimpi kedua, dan mimpi kedua diperkuat mimpi ketiga.

           Gadis itu terperanjat kaget. Setelah berjuang untuk terlepas dari jeratan alam bawah sadar, ia berhasil membuka mata. Netranya mengamati ruangan sepetak yang menjadi tempat membaringkan tubuh lelahnya. Matanya perlahan menyipit saat cahaya lampu yang berada tepat di atas kepala mulai menyakiti netranya. Kemudian kedua bola mata cokelat itu menutup.

           Satu embusan napas berhasil lolos dari mulut. Dadanya naik turun secara beraturan. Kedua tangannya tergeletak tak berdaya di kedua sisi tubuhnya. Apakah dia mati rasa? Atau mungkin lumpuh?

           Kembali kedua kelopak mata itu membuka, perlahan, sampai akhirnya ia berhasil menyesuaikan intensitas cahaya di ruangan itu. Sekali lagi, embusan napas kasar terdengar. Entah apa yang memaksanya untuk tetap terbaring di sana. Mungkinkah mimpi itu terasa begitu nyata sehingga ia kehabisan seluruh tenaganya untuk sekadar berbalik arah, mengganti arah pandang?

           Yang terjadi kemudian, gadis itu menggerakkan ujung jari telunjuk kanannya. Seolah-olah ia mencoba untuk menilai apakah ia sudah sepenuhnya sadar dari mimpi buruk yang pastinya belum sepenuhnya lenyap dari benaknya. Tiga kali mimpi buruk itu datang secara berturut-turut dalam tiga malam terakhir. Membuatnya menjadi pribadi yang sangat berbeda.

           Satu jam berlalu. Gerakan-gerakan kecil mulai lenyap, berganti dengan sedikit pergerakan besar. Ia bergeser, kemudian mengatur posisi menyamping, menatap meja belajar yang dipenuhi novel-novel misteri dan beberapa novel horor. Beberapa buah pena dan pensil di dalam sebuah wadah tabung. Sebuah buku harian yang selalu menjadi tempatnya berbagi kisah dan rahasia.

           Ia punya sejuta rahasia yang tidak diketahui siapa pun. Ia cukup riang, dan ramah. Sehingga mustahil orang akan berpikir bahwa ia memiliki rahasia kelam, mimpi buruk dan mungkin niat jahat. Tidak, dia bukan seorang penjahat. Namun mimpi itu menyiksanya seperti seorang penjahat yang tak pantas diberi ampun.

           Gadis itu kembali merebahkan tubuhnya dengan posisi telentang. Kembali menatap bola lampu yang masih berusaha menyakiti netranya. Kemudian, kedua telapak tangannya ditopangkan ke tempat tidur. Dengan sisa tenaga yang ada, ia berusaha untuk menopang bobot tubuhnya yang tak lebih dari 50 kg.

           Punggungnya disandarkan ke tembok putih polos yang dingin. Ada sedikit rasa nyaman yang terselip di dalam dirinya. Tembok itu terasa seperti bahu yang kokoh dan menyejukkan, sangat nyaman dijadikan sandaran saat lelah. Hanya saja, tembok itu hanya bisa menjadi saksi bisu akan setiap mimpi yang menjeratnya saat terlelap. Tembok itu hanya bisa mendengar jeritannya, tanpa bisa berkata apa-apa untuk menyadarkan gadis malang itu.

           Segaris senyum terbit di wajahnya. Menyadari betapa konyol dirinya yang terkadang berbicara dengan tembok yang kini menjadi sandarannya. Hal tak wajar yang hampir setiap malam ia lakukan sebelum tidur. Namun ia begitu menikmati itu. Baginya, lebih baik berbicara pada tembok yang pada kenyataanya tidak bisa berbicara, dari pada berbicara pada orang yang pura-pura mendengarkan.

           Ia adalah gadis yang menyukai perbedaan, sampai ia lupa bahwa manusia punya kesamaan. Ia nyaris melupakan itu. Setiap orang pernah mengalami mimpi buruk. Bahkan bisa lebih buruk dari apa yang ia alami selama tiga hari terakhir. Namun sekuat apa pun ia berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa itu hanya mimpi, benaknya tak pernah bisa menerima kenyataan bahwa mimpi itu mungkin saja datang kembali. Dan kemungkinan akan menjadi kisah yang nyata.

           Gadis itu bergerak mendekati nakas di samping tempat tidur, kemudian meraih ponsel. Jam digital pada layar ponselnya menunjukkan pukul 03.00. Ia menghela napas berat, mengembuskannya lewat mulut. Semburat kegelisahan terpancar jelas di wajahnya. Matanya sayu, dan bibirnya kering, juga sedikit mengelupas. Ia bukan malas minum, tetapi terlalu banyak keringat yang mengalir saat ia menjelajahi mimpi buruk itu.

Lihat selengkapnya