Dua gedung berlantai tiga berdiri kokoh di atas tanah yang diapit oleh gedung-gedung pencakar langit, juga ruko-ruko. Sekolah itu dibingkai oleh pagar berwarna keemasan dengan ujung runcing menjulang, seakan memberi peringatan supaya tidak ada yang melintas dari atasnya.
Sebuah pos sekuriti berdiri tegak di balik gerbang masuk. Sementara di sisi kiri halaman ada tempat parkir untuk siswa, dan di sebelah kanan untuk para guru dan staf. Di tengah halaman ada lapangan basket. Di sisi kanan ada gedung A dan sisi kiri ada gedung B. Sementara di tengah, posisi paling belakang ada kantin, dan toilet.
Gedung A diperuntukkan untuk laboratorium kimia, laboratorium komputer, perpustakaan, ruangan guru dan staf, ruangan BK, ruangan kepala sekolah, juga ruang tempat penyimpanan semua perlengkapan olahraga. Sementara gedung B untuk ruangan kelas. Lantai satu untuk kelas X, lantai dua untuk kelas XI dan kelas XII ada di lantai tiga. Setiap lantai terdiri dari masing-masing empat kelas yang berisi kurang lebih 30 siswa.
Pagi itu cuaca cukup cerah. Hanya ada sedikit gumpalan awan putih di langit, tetapi tidak menutupi sinar mentari yang terasa hangat di kulit. Kendaraan berlalu lalang di jalan depan sekolah. Beberapa siswa mulai berdatangan mengendarai motor, dan beberapa di antaranya diantar oleh orang tua mereka.
Billy yang berangkat bersama Alena tiba di sekolah 20 menit sebelum bel berbunyi. Alena segera turun dari motor CBR yang dikendarai oleh Billy saat mereka tiba di parkiran. Gadis remaja itu melepas helm, kemudian memberikannya pada Billy. Setelahnya ia berpaling meninggalkan Billy tanpa berkata apa-apa.
Baru beberapa langkah, ia berhenti saat Billy berseru. Ia menoleh, melihat ke arah pria yang tengah menyimpan helm di sebuah rak khusus menyimpan helm. Ia menunggu sesaat sampai pemuda itu melihat ke arahnya.
“Jangan lupa nanti jam istirahat, makan di kantin, ya!” seru Billy.
Alena hanya mengangguk sebagai jawaban, kemudian ia berjalan cepat menuju kelasnya di lantai dua, sebelum ada orang yang memanggilnya lagi. Hari ini, ia benar-benar ingin sendiri. Tanpa seorang pun yang mengajaknya berbicara. Andai bisa. Namun ini adalah sekolah, mustahil untuk bisa menyendiri di tempat yang bahkan nyaris tak pernah sepi saat jam pelajaran dan istirahat.
Gadis itu berjalan cepat di koridor, menaiki puluhan anak tangga. Kemudian berlari kecil di koridor lantai dua, sampai akhirnya ia tiba di depan kelas paling ujung. Tertulis kelas XI IPA1 di atas pintu. Di sanalah ia belajar setiap hari. Sementara Billy di kelas XII IPA 2 di lantai 3. Ia satu tahun lebih muda dari pemuda tampan yang kini sudah menjadi saudara tirinya itu.
Gadis itu duduk di kursi kedua pada baris ketiga. Kursi di sebelahnya masih kosong, itu artinya Dania belum tiba. Ia menghela napas lega, setidaknya ia bisa sedikit lebih tenang sebelum siswi yang super bawel itu datang dan menceritakan kisah cintanya panjang lebar.
Alena meletakkan ranselnya di atas meja, kemudian menelungkupkan kepalanya ke atas ransel. Belum sampai satu menit ia memejamkan mata, tiba-tiba saja punggungnya ditepuk dengan keras. Gadis itu meringis kesakitan sembari mengusap punggung. Tak butuh waktu lama untuk tahu siapa pelakunya. Tak lain tak bukan, adalah Dania.
Siswi bertubuh gempal dengan rambut yang selalu dikepang itu tidak segan-segan untuk memukul punggung atau menepuk bahu temannya dengan kuat sebagai candaan. Ia tidak menyadari bahwa pukulan dari tangan gemuknya akan sangat menyakitkan saat menyentuh tubuh mungil Alena.
Alena menoleh ke arah Dania yang duduk di sebelahnya. Gadis itu menyunggingkan senyuman terindah. Tanpa rasa bersalah, ia menatap Alena dengan mata berbinar. Seperti orang yang jatuh cinta. Atau barangkali ia tengah jatuh cinta, lagi. Karena beberapa hari yang lalu ia menangis karena diputuskan oleh kekasihnya—Leo—siswa XII IPS 2.
Alena menatapnya penuh kesal. Ia menekan giginya dengan kuat, menahan emosi yang hampir meledak. Sudah berulang kali ia memperingatkan Dania agar tidak memukul bahu atau punggungnya. Namun, tetap saja siswi yang doyan makan itu tidak peduli.