NOW OR NEVER

Tuan Typo
Chapter #4

Bab 4

Senja menghadirkan sinar kemerahan di ujung langit. Dari celah-celah gedung tinggi yang menutupi matahari, memancar sinar jingga yang menerobos masuk lewat jendela kamar Alena yang terbuka. Udara terasa begitu panas. Sudah dua minggu musim kemarau melanda. Terlebih suasana kota yang penuh dengan bangunan berjendela kaca, membuat udara semakin panas dan tidak sehat.

Sebuah pena hitam menari di atas sebuah buku harian. Alena duduk di kursi meja belajar, menuliskan setiap kegelisahan yang ia rasakan sepanjang hari ini. Mimpi buruk, juga Nevo pemilik tatapan tajam yang tak asing baginya. Gerakan tangannya lincah, menandakan masih ada banyak hal yang harus ia tuliskan di buku harian yang hanya menyisakan sedikit halaman kosong. Entah sudah berapa lama buku itu menemaninya. Halaman yang berisi tulisan tangannya sudah lebih dari ratusan.

Barangkali ia akan mengisi semua lembaran kertas itu sampai penuh. Atau mungkin perlu kertas tambahan. Ada terlalu banyak hal yang perlu ia ungkapkan di sana.

Setiap kata yang tersurat, melepas satu kegelisahan dalam dirinya. Ini seperti pemindahan kegelisahan ke dalam buku harian. Semacam teleportasi. Ia merasakan kelegaan semakin besar saat menuliskan setiap huruf di sana. Tangannya berhenti saat pintu kamarnya diketuk.

Ia mengembuskan napas kasar. Ia menoleh ke arah pintu, mencoba meredam emosi pada siapa pun yang ada di balik pintu itu. Pena di tangannya dimasukkan ke sebuah wadah tabung bermotif Hello Kitty. Lantas ia bangkit, mendorong kursi ke belakang, lalu membuka pintu.

Helena tersenyum di depan pintu. Wanita paruh baya itu selalu terlihat ramah dan penuh kasih sayang. Beberapa kerutan tipis terlihat di wajahnya. Matanya sedikit lebih gelap, tetapi tidak menunjukkan sesuatu yang menakutkan. Ia adalah wanita yang penuh kasih sayang dan rasa simpati.

Tangannya yang lembut selalu bersedia untuk membelai rambut Alena. Meski sekarang sudah sangat jarang terjadi, atau bahkan tak lagi terjadi setelah Alena menduduki bangku SMA. Ia merasa bahwa ia sudah cukup dewasa sekarang. Tak lagi pantas diperlakukan seperti Alena kecil yang butuh kasih sayang orang tua.

“Ada teman kamu yang nugguin di bawah, Sayang,” kata Helena. Tatapannya sedikit menajam saat melihat wajah Alena yang sedikit pucat. Lingkaran hitam di sekitar mata Alena juga masih terlihat jelas. Helena tidak menyadari hal itu karena pagi ini ia cukup sibuk. Wanita itu tengah berada di dapur saat Billy dan Alena berangkat sekolah tadi pagi.

“Siapa, Ma?” tanya Alena. Sebenarnya ia sudah tahu siapa orang yang datang ke rumah sore seperti sekarang ini. Namun, ia tidak punya kata lain untuk diucapkan. Pikirannya terlalu kacau untuk merangkai kata yang lebih baik.

“Itu, lho, yang gendut. Siapa sih namanya, Mama lupa,” jawab Helena sembari berusaha mengingat nama Dania.

Alena mengembuskan napas kasar. Kali ini, ia benar-benar tidak ingin diganggu. Ia hampir menyelesaikan misi pribadinya. Namun, ia juga tak mungkin meminta Dania untuk pulang. Sebenarnya tidak masalah, karena gadis berkepang dua itu datang ke rumah Alena hanya untuk mencicipi kue buatan Helena dan bertemu dengan Billy.

Setelah berkutat dengan pikirannya, akhirnya Alena mengalah. Ia kembali ke kamar dan menutup buku hariannya. Kemudian turun untuk menemui Dania yang tengah asyik menikmati kue tar yang dibawa oleh Helena dari bakery miliknya. Alena sedikit lega saat melihat Selvi juga ada di sana. Jika harus mengobrol, ia bisa berbasa-basi sedikit dengan Selvi.

“Duduk di sini, Len,” kata Billy yang duduk di sofa, bersama kedua sahabat Alena. Ia menepuk sofa di sebelahnya.

Alena duduk, mengangkat bantal sofa, kemudian menaruhnya di pangkuan. Ia menatap kesal pada Dania yang seakan tak peduli. Ia sudah terbiasa makan banyak di depan Billy, sehingga ia tidak perlu jaga image. Pun Billy tidak begitu mempermasalahkan pola makan Dania. “Cantik itu relatif, cara pandang tiap orang berbeda. Gemuk bukan berarti jelek, mereka yang gemuk punya daya tarik tersendiri,” kata Billy waktu itu. Hal itu pula yang membangkitkan rasa percaya diri Dania.

“Makasih ya, Tan! Kuenya enak banget,” kata Dania saat Helena datang membawa teh manis. Wanita itu menaruh gelas bening berisi teh manis panas yang masih mengepulkan asap di atas meja. Kemudian ia mempersilakan mereka untuk menikmati hidangan yang ada.

“Dihabiskan, ya, kuenya, Da-dan ...”

“Dania, Tante,” sela Dania. Kemudian ia kembali menyuapkan kue penuh krim ke dalam mulutnya tanpa merasa sungkan. Ia sudah sering datang ke sana, sehingga tidak merasa canggung saat bertamu dan menikmati makanan yang terhidang. Anggap saja rumah sendiri, begitulah prinsip Dania.

“Ada apa ya, Sel, kok datang kemari?” tanya Alena. Selvi tidak begitu sering datang ke sana. Hanya beberapa kali jika mereka kerja kelompok, atau meminjam novel milik Alena. “Kalau dia nggak usah ditanya deh. Dah tahu gue alasan dia.” Tatapan Alena mengarah kepada Dania.

Lihat selengkapnya