Cahaya jingga di ufuk barat kian meredup. Hanya terlihat segaris cahaya oranye yang menembus rimbunnya dedaunan dari pepohonan yang menjulang tinggi. Tak lama lagi, hawa dingin akan menelusup, beriringan dengan pekatnya gelap malam yang mampu membuat bulu kuduk merinding.
Suara jangkrik riuh terdengar di segala penjuru hutan belantara ini. Saling bersahutan dengan suara serangga jenis lain, juga ranting pinus yang saling menepuk, menabrakkan dahannya ke pohon lain seakan tengah bertengkar.
Gadis itu menghentikan langkah sejenak, napasnya terengah-engah. Matanya yang sayu menatap ranting pepohonan yang menimbulkan kebisingan mengerikan di atas sana. Angin yang semakin kencang menggoyang ujung pohon begitu kuat, seolah-olah pohon itu akan tumbang menimpa kepalanya.
Gadis itu membungkukkan badan, kedua tangan ditopangkan pada lutut yang mulai gemetar. Ia sudah berlari cukup jauh, hingga mungkin kehabisan napas jika harus berlari lebih jauh lagi. Pun ia tidak tahu ke mana arah tujuannya. Ia hanya perlu berlari, sejauh mungkin dari seseorang yang mengejarnya.
Ia menoleh, tetapi tidak seorang pun berlari ke arahnya. Matanya liar mengawasi sekitar. Barangkali sosok itu tengah bersembunyi di balik pepohonan besar di sekitarnya. Pun malam mulai merangkak turun. Sisa sinar jingga di langit tak lagi mampu memberinya penerangan di bawah rimbunnya dedaunan.
Setelah napasnya kembali teratur, ia berjalan terseok-seok. Betis kanannya terluka, entah karena apa. Lukanya masih meneteskan darah, terlihat seperti goresan pisau. Atau barangkali sosok yang mengejarnya sempat melukainya. Ia berusaha pergi sejauh mungkin, berharap akan menemukan ujung dari hutan belantara itu.
Beberapa meter ia berjalan, rasa was-was kembali menyergap. Batinnya mulai merasakan kegelisahan yang sedikit berlebihan. Ia menoleh, mengamati sekitar. Namun, tidak ada siapa pun di sana. Atau bahkan binatang buas yang mungkin menyergapnya. Ia berhenti, memandang penuh kewaspadaan pada pohon besar yang mungkin dijadikan tempat persembunyian. Mungkin dia tidak melihat apa-apa, tetapi batinnya merasa bahwa sosok itu tengah mengintai dirinya.
Cukup lama ia berdiam diri, mendengarkan bunyi detak jantungnya yang begitu cepat. Suara jangkrik dan binatang malam lainnya semakin membuat was-was. Hari sudah benar-benar gelap. Sama sekali ia tak bisa melihat apa-apa. Hanya ada kegelapan yang begitu pekat.
Dengan pasrah, ia menjatuhkan tubuh lelahnya ke tanah yang tertutup dedaunan. Sebelah tangannya ditopangkan ke kepala sebagai bantal. Dedaunan itu terasa begitu dingin di kulit, ditambah embusan angin malam yang kian kencang. Dalam hati ia berharap, ia bisa terbangun dari mimpi buruk ini.
Ia sudah mencoba berbagai cara. Mencubit pipi, menampar. Namun, tidak satu pun usahanya yang berhasil. Ia justru semakin takut. Bagaimana jika ini adalah kenyataan? Ia terpenjara seorang diri di dalam hutan yang bisa saja mengurungnya selamanya. Bahkan ia tidak tahu, bagaimana sebelumnya ia bisa tiba di sana.
Yang ia ingat hanyalah seorang pria yang berusaha untuk menangkapnya. Pria asing yang sudah tiga hari ini mendatanginya di alam mimpi. Ia tidak mengenali sosok pria itu. Tubuhnya ringkih, matanya besar, hampir mencuat keluar. Hidugnya tidak begitu mancung, juga bibirnya begitu pucat. Namun, tatapan matanya begitu tajam, sama seperti tatapan Nevo.