Alena berusaha memusatkan pikiran agar tetap fokus pada pelajaran kimia yang tengah berlangsung. Namun, usahanya tetap saja gagal. Ia selalu terbayang akan sosok pemuda yang mengejarnya di alam mimpi itu.
Terlebih, tanpa sengaja ia bertemu dengan Nevo di koridor pagi ini. Alena yang keluar dari kelas, hendak ke toilet betatap muka dengan Nevo. Mau tak mau, Alena harus menatap mata dengan sorot tajam itu. Namun ia tidak terbuai, atau terpikat. Jantungnya berdetak cepat, tetapi bukan karena ia gugup. Melainkan ia merasakan ketakutan yang luar biasa, seperti saat ia melihat sosok pemuda yang hendak menyerangnya.
Dengan cepat Alena membuang pandangan, kemudian berdeham, lalu pergi tanpa mengatakan sepatah kata pun. Nevo masih berdiri di sana, menoleh ke arah Alena yang kian menjauh. Kemudian ia tersenyum penuh arti, sebelum akhirnya ia berjalan memasuki ruangan kelas.
Suara siswa-siswi yang berteriak menjawab pertanyaan Bu Nila seakan tak terdengar oleh telinga Alena. Matanya menatap kosong papan tulis berisi deretan angka berwarna hitam. Sudah hampir selesai Bu Nila menjelaskan pelajaran, tetapi Alena sama sekali tidak menyimak sedikit pun apa yang disampaikan Bu Nila dari depan.
Lamunan itu akhirnya buyar saat teriakan yang lebih keras terdengar. Bel istirahat berderit, membuat Dania yang sedari tadi menahan nafsu untuk segera meluncur ke kantin. Tanpa ragu, ia bersorak dengan keras di telinga Alena. Beruntung, gadis itu akhirnya tersadar.
Alena mengusap telinga sembari berjalan di koridor sekolah. Sesekali ia melayangkan tatapan kesal pada Dania yang cengar-cengir di sebelahnya. Sementara Selvi acuh tak acuh akan permasalahan dua sahabatnya itu. Ia lebih tertarik untuk mengamati siswa yang sudah berhamburan di lapangan. Matanya liar mencari-cari sosok siswa yang sudah lama menjadi incarannya.
Sampai mereka tiba di kantin, Selvi tidak menemukan sosok yang ia cari. Kepalanya berputar ke kanan ke kiri, memancing sisi kepo Dania untuk mengulik rahasia yang selama ini dipendam oleh Selvi.
“Ngeliatin apa, lo?” tanya Dania sembari mengambil dua bungkus makanan ringan dari meja kasir. Sebelumnya ia sudah meletakkan dua mangkok bakso di meja, kemudian kembali ke meja kasir untuk membeli cemilan.
“Kepo banget, sih jadi orang,” kata Selvi kesal. Ia tidak begitu suka ditanya jika itu menyangkut sesuatu yang bersifat rahasia. Apalagi jika ditanya oleh orang yang mulutnya seperti ember bocor. Sama sekali tidak layak dijadikan tempat menampung rahasia.
Selvi kembali mengamati sekitar sembari berjalan meninggalkan meja kasir dengan semangkuk mi goreng di tangan kanan dan segelas teh obeng di tangan kiri.Iia hampir menabrak seorang siswi karena tidak melihat jalan.
Alena duduk dengan gelisah di meja yang sudah mereka pilih. Tidak begitu jauh dari meja kasir. Dania yang memilih. Katanya supaya tidak terlalu jauh kalau ingin memesan makanan lagi. Selvi dan Alena hanya bisa memutar bola mata dan pasrah akan kebiasaan Dania yang sudah mendarah daging.
Alena mengamati sekitar, mencari-cari sosok Nevo. Bukan karena ia ingin bertemu dengan siswa tampan itu, tetapi ia ingin menghindarinya. Jika Nevo duduk di meja dekat dengannya, ia bisa memilih tempat duduk yang membelakangi Nevo. Yang pasti, mereka tidak boleh bertatap muka.
“Liatin apa sih?” tanya Dania sembari meletakkan dua bungkus cemilan di atas meja. Ia duduk di kursi seberang meja, sengaja, barangkali si tampan Nevo ingin bergabung lagi dengan mereka. “Tadi si Selvi, sekarang lo yang celingak-celinguk.”