Gadis itu berlari cepat menaiki anak tangga menuju kamarnya. Sebelumnya ia melompat dari atas motor begitu sampai di depan rumah, kemudian melepaskan sepatu. Ia meletakkan sepatu dengan tergesa-gesa di rak, hingga salah satunya terpelanting. Ia tak punya waktu, atau barangkali tak ingin memperbaiki letak sepatu itu.
Billy hanya menggeleng kepala, kemudian meletakkan sepatu Alena yang terjatuh ke tempat seharusnya. Usai melepas sepatu, ia masuk ke kamar. Pikirannya berusaha menebak apa yang membuat Alena lari ketakutan dari toilet saat mereka berpapasan di sekolah.
Alena segera mengunci pintu kamar begitu ia masuk. Ranselnya dilemparkan begitu saja ke atas kasur. Sangat berbeda dengan sosok Alena yang begitu rapi dan mandiri. Kali ini, ia terlihat sangat berbeda. Berantakan dan sangat buruk.
Ia berdiri di depan cermin, mengamati setiap jengkal wajahnya. Tidak ada yang berbeda, apalagi berubah. Lingkaran hitam di sekitar matanya masih terlihat jelas, bibir pucat yang mengelupas, dan tatapan mata sayu. Ia terlihat begitu lemah.
Ia kembali terbayang pada kejadian buruk di toilet sekolah. Ia membasuh wajah di wastafel, kemudian mengambol tisu di saku baju untuk mengeringkan wajah. Sembari mengelap buliran air di wajah, ia menatap bayangan dirinya. Awalnya sama saja. Kemudian perlahan bayangam di cermin itu berubah. Matanya menjadi hitam pekat, pun tatapannya begitu tajam. Seperti mata Nevo, juga pemuda di mimpinya.
Alena mengucek mata, memastikan bahwa mungkin itu hanya halusinasi. Ia terlalu takut saat melihat mata itu. Namun, saat ia kembali menatap bayangan dirinya di cermin, tatapan mata itu masih sama. Tajam dan menakutkan.
Ia tak lagi bisa memercayai apa yang terlihat. Ketakutan itu sudah melekat kuat dalam dirinya. Ia sudah berubah menjadi sosok pemuda menyeramkan itu. Ia terlalu khawatir hingga tidak bisa mengontrol diri. Tentu saja itu hanyalah ilusi, tetapi batinnya kian melemah hingga ia berlari meninggalkan toilet.
Tanpa sengaja ia menabrak Billy yang berjalan di koridor lantai satu. Billy yang khawatir menahan tangan Alena saat gadis itu hendak pergi tanpa mengatakan apa pun. Awalnya ia hanya diam, menarik napas sebanyak mungkin. Kemudian ia menjawab karena Billy masih mencengkram lengannya dengan kuat.
“Sebentar lagi bel bunyi. Nanti saja Alena cerita di rumah,” katanya dengan cepat, kemudian menarik paksa tanganya dari genggaman Billy. Siswa berparas tampan itu tak menahan Alena. Karena setelah Alena berlari menaiki anak tangga, bel berbunyi. Lantas ia menyusul Alena menaiki anak tangga bersama siswa yang berhamburan memasuki kelas.
Kini gadis itu terduduk di atas tempat tidur. Apakah ia memang berhalusinasi? Tapi kenapa bayangan dirinya di cermin sekolah itu menatapnya begitu tajam? Bahkan ia tidak memiliki pupil sehitam itu, juga tatapan setajam itu. Ia adalah gadis bermata cokelat dengan tatapan teduh. Penuh kelembutan dan kasih sayang. Juga sedikit rasa ingin tahu.
Ia bangkit berdiri, berganti pakaian. Indera penciumannya membaui aroma tak sedap dari tubuhnya sendiri. Ia tidak bergerak berlebihan hari ini. Tidak ada pelajaran olahraga, atau sesuatu yang memaksanya berjemur di lapangan. Ia hanya berlari dari toliet. Barangkali hanya itu aktivitas yang cukup menguras tenaga. Tapi aroma tubuhnya menandakan seolah-olah ia bergerak terlalu agresif.
Ia tak butuh pergerakan untuk berkeringat. Karena saat takut, tubuhnya akan mudah berkeringat. Bahkan melebihi saat ia berolah raga di bawah terik matahari yang menyengat. Ia sedikit menyesalkan keanehan itu. Atau barangkali itu sebuah kewajaran. Namun, apa pun itu, ia tidak suka berkeringat secara berlebihan.
Usai berganti pakaian, ia menyibakkan tirai, kemudian membuka jendela. Semilir angin meniupkan rambut yang menempel di wajahnya karena keringat. Ia memejamkan mata sejenak, membiarkan angin meniupkan kelegaan ke dalam dirinya. Semua terasa begitu tenang dan menyenangkan. Andai bisa, ia ingin suasana tenang seperti ini setiap saat.
Beberapa saat kemudian, ia beralih ke buku harian yang tergeletak di atas meja. Sebuah pena berwarna hitam tergeletak sejajar dengan buku harian itu. Ia tersenyum, seakan buku itu bisa menjadi teman berbagi cerita, yang kemudian memberinya jawaban. Mungkin saja ia bisa menemukan jawaban dari sana. Ia hanya perlu menuliskan semua secara runut, kemudian mencoba mengaitkan satu per satu.
Ia memulainya dengan mimpi buruk di tengah hutan yang sedikit berbeda dengan mimpi sebelumnya. Pertemuan tak disengaja dengan Nevo di koridor tadi pagi, pertemuan kedua mereka di kantin, dan bayangan dirinya di toilet. Ia tak melewatkan sedikit pun detail peristiwa itu. Semua terekam jelas di dalam ingatannya.
Kata demi kata mulai mengisi setiap baris kosong pada kertas-kertas putih itu. Sampai akhirnya ia harus mendengkus karena kehabisan kertas. Semua detail peristiwa belum tersurat secara keseluruhan. Ia bangkit, kemudian menarik laci di meja belajarnya. Tidak ada kertas di sana. Kemuidan ia beranjak ke laci lemari. Tetap saja ia tidak menemukan apa-apa.
Kemudian ia teringat pada Billy. Kakak tirinya itu pasti punya kertas kosong yang bisa ia pinjam. Alena pernah masuk ke kamar Billy, dan melihat ternyata pemuda itu juga memiliki buku harian. Hanya saja tidak setebal buku harian Alena yang diisi hampir setiap hari.
Namun, langkahnya terhenti saat ia keluar dari pintu. Jika ia bertemu dengan Billy, itu artinya ia harus siap menceritakan semua pengalaman buruknya di toilet. Tadi ia sudah berjanji akan menceritakannya di rumah. Namun, ia tak punya cara lain. Kegelisahan itu harus segera ditumpahkan ke buku harian miliknya.
Ia menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya dari mulut. Lantas ia turun ke lantai satu, menuju kamar Billy. Lagi-lagi ia berhenti di depan pintu kamar Billy, memantapkan diri untuk menceritakan semua pengalaman buruk yang dialaminya.