"Ooh, jadi toko roti yang dekat pertigaan itu punya ibumu?"
Aku mengangguk.
"Lalu, kedai di sampingnya yang jualan bir dan kue beras dengan saus pedas itu punya ayahmu?"
Aku mengangguk lagi.
"Apa kau orang asli sini?"
"Iya," jawabku. "Sejak lahir aku sudah di sini."
"Ooh." Silvia, kenalan baruku yang sempat bertemu ketika ujian masuk akademi, terlihat sangat antusias mengorek informasi pribadiku.
"Kau sendiri, ayahmu kerja apa?" tanyaku kemudian.
"Ayahku punya toko. Kami keluarga pedagang," jawab Silvia cepat. "Dulu kami pedagang keliling, sehingga aku sering pindah-pindah kota. Bahkan pernah ke kerajaan sebelah. Tapi karena bisnis Ayah sepertinya mulai stabil di Lubium, akhirnya kami menetap di sana. Berkat itu juga aku memilih sekolah di Akademi Sihir Mariana."
"Begitu ya. Kukira kau juga tinggal di kota ini, tapi ternyata dari Lubium. Jadi, kau di sini sendiri?"
Silvia mengangguk. "Iya. Ayahku sepertinya sedikit tidak tega, tapi mau bagaimana lagi. Sekolah sihir yang paling bagus di kerajaan ini kan di sini, di Kota Heburgh ini."
"Yaa ... lagipula Lubium dan Heburgh tidak jauh. Naik kereta kuda hanya dua jam, 'kan?"
"Benar." Silvia pun melanjutkan, "Saat liburan nanti, kau mau ke rumahku, nggak? Lubium punya banyak wisata alam."
Aku belum sempat menjawab, mengangguk pun tidak, tapi kepala Silvia sudah menoleh ke pintu masuk kelas. Kulihat, anak-anak yang lain pun begitu.
Kami semua, termasuk aku di dalamnya, melihat dengan intens dan serempak ke arah seseorang yang melewati pintu kelas.
Itu adalah seorang tuan putri. Kalau tidak salah namanya adalah Achiles von Draugster. Kata Silvia, nama lengkap si tuan putri adalah Achiles Gardenia von Draugster, putri satu-satunya Duke Draugster Penguasa Utara.
Dia memang bukan sembarang tuan putri. Dilihat dari penampilan luarnya saja, dia sudah sangat berbeda. Rambutnya perak, matanya biru laut, kulitnya putih dengan rona merah muda. Badannya juga cukup langsing, tidak terlalu kurus. Bahkan tingginya pun membuatnya cocok dengan segala jenis pakaian.
Orang seperti itu, sudah pasti paling cocok sebagai peran utama dalam sebuah cerita.
Entah dia menjadi protagonis yang lemah lembut, atau malah si tomboy yang nyentrik. Selama penampilannya secantik itu, pembaca novelnya pasti tidak banyak protes.
"Kau tahu, dia sudah bertunangan dengan Putra Mahkota sejak berumur sepuluh," bisik Silvia di dekat telingaku.
"Benarkah?" tanyaku tanpa mengalihkan pandang menatap Tuan Putri.
"Saat itu, Lubium mengadakan pesta dua hari," jelas Silvia lagi.
"Begitu? Pasti seru."
"Iya. Apalagi Duke Draugster sampai memberi modal pada para pedagang untuk meningkatkan perekonomian. Jadi saat itu heboh sekali."
Aku melirik Silvia sekilas. "Gilaaaa, hanya karena putrinya bertunangan?"
Silvia mengangguk lebih keras. "Bertunangan dengan Putra Mahkota. Bagaimana mungkin itu sekedar 'hanya'."
"Kau benar," sahutku setuju. "Kehidupan orang kaya memang berbeda, ya?"
"Dunia mereka memang di luar jangkauan kita."
Kali ini aku yang mengangguk lebih dalam. Tidak lama setelah itu wali kelas kami masuk ruangan. Aku pun tidak lagi memandangi kecantikan Tuan Putri. Sayang sekali.
***
Sekolahku ini namanya adalah Akademi Sihir Mariana, berada di Kota Heburgh, Kerajaan Amarin, di Benua Maknaria, Kekaisaran Maknaria, Planet Threashyiluem.
Di planet dengan tiga kekaisaran utama, yakni Maknaria, Leifia, dan Trygvia, penduduk Kota Heburgh rata-rata adalah manusia dengan kemampuan sihir bawaan lahir.
Kami menggunakan sihir dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari mematik api, meniupkan sedikit angin, hingga menerbangkan barang-barang.
Namun, walau hampir semua orang punya sihir, kapasitas tiap individu tidaklah sama. Ada yang hanya bisa melakukan sihir paling kecil seperti mematik api lilin, hingga sihir yang bisa menghancurkan benua.