"Gimana hari pertamamu? Sudah dapat teman?"
Ibuku yang sedang asik memakan jeruk sebagai camilan malam, langsung menembakku dengan pertanyaan yang terdengar seperti rasa khawatir.
"Sudah, kok," jawabku ringan.
Setelah makan malam, kami bertiga--aku, Ayah, dan Ibu--memang selalu meluangkan waktu untuk relaksasi di balkon belakang rumah. Kami duduk berjejer di kursi panjang, mengudap camilan, minum air lemon segar, dan memandangi gemintang.
Terdengar seperti rutinitas tidak berguna, tapi sebenarnya tidak banyak orang yang bisa berleha-leha begini seperti keluarga kami. Teman-temanku saja banyak yang merasa iri jika tidak sengaja mendengar hal itu dariku.
Lagi pula, apa gunanya mencari uang sampai berkeringat darah jika tidak bisa menikmati hidup yang singkat ini.
"Dapat teman berapa? Ayahmu dulu bahkan bisa berteman dengan semua anak sekelas di hari pertama sekolah." Ayahku membual bangga.
"Ayah, kan sekolah di pinggiran. Teman sekelas Ayah cuma sepuluh," sangkalku.
"Memangnya, teman sekelasmu berapa?" tanya Ayah sedikit sewot.
"Dua puluh lima."
"Yaah, sama saja. Beda lima belas orang tidak masalah."
Aku pun mencebik, lalu mengambil jeruk dari tangan Ibu yang sudah dikupas bersih. Satu suapan jeruk membuatku bernapas lega, rasanya manis membelai lidah.
"Tapi teman sekelasku banyak bangsawan. Aku tidak bisa begitu saja sok kenal dengan mereka," jelasku.
Ayahku malah nyengir lebar. "Kau takut, yaaa?" tanyanya terdengar mengejek.
"Bukannya takut, tapi aku menghargai cara mereka bersosial. Harga diri bangsawan setinggi Pohon Borara," sangkalku.
"Ngomong-ngomong soal Pohon Borara, apa benar hanya Sang Raja Besar yang pernah ke puncaknya?" tanya Ibu tiba-tiba.
Aku dan Ayah mengedikkan bahu, sama-sama tidak tahu.
"Di Threasyiluem, ada tiga Raja Besar. Aku yakin mereka semua pernah ke sana. Mungkin mereka bahkan menjadikan puncak Pohon Borara sebagai tempat rapat eksklusif," ucapku asal.
"Asal punya kekuatan dan kekuasaan, sangat mudah menjadikan harta negara sebagai mainan," celetuk Ayah sesukanya. "Kau mau tahu cara biar dapat teman banyak?" tanyanya tiba-tiba, mengubah topik sesuka hati.
"Nggak ah. Jadi seperti biasanya saja," jawabku.
Aku memang suka mengenal orang, tapi memaksakan diri bukan caraku. Sesuatu yang sederhana, seperti berteman dengan lima sampai enam orang sudah cukup untuk menghabiskan waktu semasa sekolah.
Lagi pula, dulu aku juga pernah sekolah saat aku masih menjadi manusia bumi, saat namaku belum menjadi Ran.
Dulu, sebelum pernah mati karena usia tua, aku mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi. Aku mencoba berteman dengan banyak orang, mencoba menjadi anak baik hati dan ceria supaya tidak dibenci. Namun, saat tua aku menyesalinya. Mengapa aku harus berusaha sekuat itu untuk disukai? Padahal emosi orang lain bukan menjadi tanggungjawabku pribadi.
Ketika tua aku baru menikmati hidupku dengan caraku sendiri. Menjadi peduli, tapi juga lebih abai pada beberapa perkara.
Sayang sekali, baru sebentar hidup tenang, aku sudah mati.
Mungkin karena itu, saat kini dilahirkan kembali, aku tidak begitu ambisius. Hidupku datar dan membahagiakan, menurutku.
***
Hari ke dua aku masuk sekolah.
Kali ini aku datang dengan membawa sekantung permen mint yang dibungkus kertas murah.
Ketika aku masuk kelas, baru ada beberapa anak yang datang. Itu pun hanya yang bertugas membersihkan kelas.
Seorang anak laki-laki yang tampak mahir menggunakan sihir, hanya duduk sambil mengawasi kemocengnya bergerak sendiri mengelap jendela dan langit-langit. Sedangkan dua yang lain, tampak bersusah payah menyapu kelas secara manual.
"Kau mengendalikan sihirmu dengan baik. Kau mau mengajariku?" tanyaku ketika mendekati tempat siswa laki-laki itu duduk. Kebetulan sekali, ia duduk di samping mejaku.
"Pamanku kerja jadi pelayan di rumah seorang count. Dia yang mengajariku sihir kendali seperti ini. Kau mau belajar darinya?" tanyanya.
Kenapa dia menawarkan pamannya? Orang aneh.
"Kalau gratis aku mau," jawabku singkat. Setelah itu aku meletakkan tasku ke atas meja, dan membuka kantung permen yang dari tadi kubawa.
"Dia orang sibuk, tidak mungkin membagi ilmu sihir gratis untuk orang selain keluarganya," jelas siswa itu.
Dalam hati aku mencebik, menyangka jika pasti dia yang sebenarnya tidak mau mengajariku cuma-cuma.
"Kalau ini gratis. Ambillah," ucapku seraya memberi tiga bungkus permen mint.
"Permen? Dalam rangka apa?" tanya siswa itu curiga, walau ia mengambil permen yang kuberi dengan gembira.