Sebagai rakyat biasa, kesibukanku bukanlah prioritas.
Untuk mengerjakan pr dari Pak Guru Kaith, aku tidak bisa begitu saja melakukannya bersama Tuan Putri. Pasalnya, dia punya jadwal penting yang harus dilakukan sepulang sekolah.
Kata Tuan Putri, ia ada kelas piano dan tata krama, sehingga tugas sekolah baru dapat dilakukan pukul lima.
Tentu saja aku tidak masalah, hitung-hitung ada waktu bagiku istirahat sebelum kerja kelompok.
Lalu, tepat pukul lima, aku berdiri di depan gerbang townhouse keluarga Draugster. Rumah perkotaan ini terletak di jalan Fairy Row, di mana rumah-rumah bangsawan didirikan.
Pemandangannya jelas jauh berbeda dengan gang sempit untuk rakyat jelata. Lihat itu, di tengah jalan pun diberi taman memanjang yang dipenuhi bunga warna-warni.
Saat aku datang, seorang penjaga gerbang mengecek identitasku, dan baru menyuruhku masuk ketika memastikan aku adalah tamu majikannya.
Seorang buttler menghampiriku, memandu ke ruang belajar di lantai dua.
Saat pintu dibuka, Tuan Putri sudah duduk manis di sofa beludru. Tidak jauh dari sana, ada perapian yang menyala kecil. Yah, sore menjelang malam di musim semi memang masih cukup dingin.
"Sore," sapaku.
Tuan Putri mengangguk, menyuruhku duduk.
"Ini untukmu," ucapku sembari memberikan tas kertas berisi aneka kue.
"Kau membawa ini untukku?" tanya Tuan Putri.
Aku mengangguk, lalu duduk di sofa yang berada tepat di depannya, sebuah meja kayu berpelitur rumit menjadi pembatas kita.
Tuan Putri, entah mengapa dengan cukup hati-hati, membuka kantung kertas yang baru kuberikan. Ia mengamati dengan cukup serius benda apakah gerangan yang ada dalam pembukus murahan itu.
"Itu roti isi krim. Ada yang rasa stroberi dan anggur," jelasku.
"Um, terima kasih. Kau selalu memberiku sesuatu, padahal aku belum membalasnya sama sekali," ucap Tuan Putri lembut. Suaranya kalem mirip embusan angin di padang bunga.
"Aku hanya suka melakukannya."
Bisa kulihat mata Tuan Putri yang berkedip penasaran. "Kau sungguh dermawan."
Ugh, mendapat ucapan begitu dari orang terhormat sungguh menancap hatiku. Rasanya malu.
"Selamat sore, saya membawakan teh untuk My Lady dan temannya."
Tiba-tiba saja seorang pelayan laki-laki datang mendorong troli. Ia cukup tua kurasa, rambutnya menipis dan terlihat banyak uban. Namun, karena ia tersenyum ramah, kesan tua itu menjadi lebih bijak.
"Terima kasih, Philip. Ini teman kelasku, Ranes Orwan," jelas Tuan Putri. "Dan tolong sajikan ini untuk kami." Ia menyerahkan kantung kertas berisi roti dariku pada Pak Philip.
"Baik, My Lady," jawab Pak Philip. Namun, sebelum ia menyajikan roti-roti itu, ia melihatku dengan serius. "Bukankah ini anak perempuan Nyonya Penjual Roti? Nyonya Orwan."
Aku mengangguk. "Benar, panggil Ran saja."
Pak Philip tertawa kecil, tampak senang karena berhasil menebak sesuatu. "Dulu saya sering ke toko roti Nyonya Orwan, saat itu Nona Ran masih kecil."
"Benarkah? Kenapa Pak Philip tidak ke toko kami lagi kalau begitu?"
Pak Philip tersenyum samar, sedikit getir. "Dulu saya ke sana karena Nenek Lady Achiles sangat suka roti di toko Nyonya Orwan. Namun, semenjak beliau tiada, saya ... jadi takut ke sana," jelasnya.
"Maafkan saya, Nona Ran. Saya tidak bermaksud berkata buruk, saya hanya belum berani berkunjung lagi," tambah Pak Philip.
Oh, apakah itu trauma karena teringat akan kenangan manis? Kadang, hal yang sangat berkesan bisa menjadi sesuatu yang berat dilakukan saat alasannya menghilang. Seperti Pak Philip, yang dulu mungkin senang disuruh pergi membeli roti ke toko ibuku. Namun, ketika orang yang menyuruh itu tiada, ia mungkin merasa menderita. Ia akan teringat kembali dengan kesukaan majikannya.
Memori yang melankolis.
"Tidak masalah, Pak Philip. Saya senang mendengar bahwa mendiang Your Grace Draugster menyukai roti di toko kami. Itu sebuah kebanggaan," hiburku.
Tuan Putri yang sejak tadi memperhatikan pun, kini mulai bersuara. "Apakah itu benar? Bahwa Nenek sering membeli roti di toko Nyonya Orwan?"