Aku tidak begitu mengerti cara menjamu bangsawan, jadi ketika Tuan Putri Achiles datang, yang bisa kulakukan hanya mempersilakannya duduk di sofa ruang tamu.
Saat itu kedua orangtuaku sudah tidur, dan sengaja tidak kubangunkan. Mereka pasti akan melakukan hal berlebihan untuk menyambut tamu bangsawan.
Mungkin Ibu akan membuat kue tinggi yang diberi banyak krim walau ini sudah larut malam.
Urg, pasti melelahkan.
"Maaf aku hanya bisa membuat teh seperti ini, Tuan Putri," ucapku ketika menyajikan teh hitam ke atas meja.
Untung saja, Tuan Putri Achiles adalah orang yang baik. Walau wajahnya terlihat dingin dan cantik, ia sebenarnya cukup lembut dan pengertian. Ia, dengan kedudukan sebagai putri duke, bahkan mau mendengar ocehan rakyat jelata sepertiku. Tidak seperti bangsawan kelas rendah yang kadang terlalu banyak gaya.
"Um, tidak apa. Seharusnya aku yang berterimakasih karena kau sudah menjamuku malam-malam begini. Aku juga minta maaf karena sudah menganggu waktu beristirahatmu," ucap Tuan Putri. Ia mengambil cangkir isi teh hitam yang masih panas, lalu dengan keanggunan tanpa cela, ia minum sangat hikmat.
Wah, ini suatu pencapaian besar untukku, bisa memberi minum bangsawan kelas tinggi seperti dirinya.
"Apa Tuan Putri datang ke sini untuk membeli roti melon?" tanyaku kemudian.
Tersenyum canggung dengan semburat tipis di telinga, Tuan Putri pun mengangguk. "Aku sebenarnya sudah tidak sabar membelinya sejak kau datang ke rumah kemarin."
Astaga, betapa jahat diriku sudah membuat orang sehalus ini merasa tidak nyaman. Tuhan, jangan kutuk aku.
"Sebenarnya, roti melon hanya ada di hari ke enam dan ke tujuh," jelasku. Hatiku sakit saat mengatakannya. Jika bisa, ingin sekali kubangunkan Ibuku dan memaksanya membuat roti melon seratus loyang.
Lihat itu, wajah Tuan Putri terlihat kecewa. "Begitu, ya? Aku tidak tahu ...."
Ketidaktahuan bukanlah dosa, kumohon jangan mengatakannya dengan nada menderita.
"Apa Tuan Putri mau memesan dari sekarang saja? Biasanya roti itu mudah habis, aku khawatir Tuan Putri tidak kebagian," tawarku.
"Bisakah?"
Aku mengangguk. "Katakan saja pesan berapa, akan kusampaikan pada Ibu."
"Um, terima kasih." Tuan Putri tersenyum kembali.
Setelah menghabiskan teh, bicara singkat, dan mengatakan jumlah pesanannya, Tuan Putri pun pamit pergi.
Ia berjalan menuju kereta kudanya yang istimewa, dilayani oleh beberapa dayang dan penjaga. Ketika sudah masuk ke dalam kereta, ia bahkan membuka jendela.
Tersenyum ramah, Tuan Putri melambaikan tangannya.
***
Ketika aku berjalan ke lantai dua menuju kamar, Silvia rupanya menungguku di depan pintu.
Gadis itu matanya berbinar, pasti ingin banyak tahu.
"Jadi, itu tadi beneran Tuan Putri Draugster?" tanya Silvia cepat. Ia mengikutiku duduk kembali di depan meja lipat, kedua lengannya sudah bersedekap.
"Dia ingin beli roti melon," jawabku singkat.
"Astaga, tidak kusangka toko rotimu begitu populer," celetuk Silvia.
Aku pun menjelaskan, "Neneknya dulu langganan roti buatan Ibu. Tapi katanya sudah wafat, jadi dia ingin mengambil kenangan yang tersisa dari mendiang."
"Astaga, berarti ada kisah sedih di balik kedatangannya malam ini? Aku turut berduka," sahut Silvia.
"Aku jadi tidak enak," keluhku.
Namun, Silvia memberi cengiran terbaiknya. "Beri dia yang terbaik saat ibumu membuat roti melon nanti."
Aku mengangguk kecil, lalu memutuskan berbaring di atas lantai yang sudah dialasi karpet bulu.
Sambil menatap langit-langit kamarku yang bermotif serat kayu, tiba-tiba aku sedikit penasaran. "Ngomong-ngomong, Tuan Putri berpakaian begitu cantik malam ini, apa ada acara yang harus dihadiri?"
Tanpa diduga, Silvia yang tahu segalanya menjawab kilat, "Iya, ada. Tadi pagi sempat kudengar, beberapa lady sedang bingung membahas gaun untuk pesta Putra Mahkota."
Kulirik Silvia dari ekor mata. "Putra Mahkota kenapa? ulang tahun?"
"Kau ini benar-benar ketinggalan berita," keluh Silvia sebelum menjawab pertanyaanku dengan benar. "Putra Mahkota sudah menuntaskan level pedang di tingkat master. Jadi raja mengadakan pesta untuk merayakannya."