Raksha berlari sampai kakinya nyaris patah. Nafasnya berat, sesak, paru-parunya seperti terbakar. Ia akhirnya terjatuh di sudut gang sempit, di antara tumpukan kotak kayu dan kain lusuh. Di belakang, teriakan asing menjauh. Mereka menyerah—atau lebih sibuk mengejar budak lain. Ia tak tahu. Ia tak peduli.
Raksha memeluk lututnya, gemetar. Perutnya keroncongan. Tenggorokannya kering seperti pasir. Ia mencoba mengingat… Mama. Papa. Rumah. Tapi wajah mereka kabur. Satu-satunya yang ia ingat jelas hanyalah ladang bunga itu. Tempat ia biasa berbaring menatap langit, mendengar suara angin. Tempat ia merasa aman.
Kini, tak ada bunga. Tak ada angin. Hanya bau busuk. Hanya suara kasar.
Keesokan paginya, Raksha berjalan menyusuri jalanan kota. Batu-batu besar menyusun jalan itu, dingin di bawah kakinya yang telanjang. Ia mendekati orang-orang. Menarik lengan mereka. Menengadah, mengatupkan tangan.
“M-minta…” suaranya lirih. “Aku… lapar…”
Orang pertama menarik tangannya kasar, mendorongnya menjauh. Yang lain menatapnya heran, lalu jijik. Seorang wanita dengan pakaian indah berbisik keras pada kawannya, menunjuk Raksha.
“Zalreth lunar!” katanya, matanya melebar ketakutan.
Raksha tak mengerti. Ia mencoba lagi. Mendekati lelaki berjubah ungu, menarik jubahnya, menunjuk ke mulutnya. Lelaki itu memelototinya, mengangkat tangan.
Plaaak! Sebuah tamparan mendarat di pipinya, membuat Raksha terjatuh ke tanah. Darah mengalir dari sudut bibirnya.
“Threk vashar!” bentaknya.
Raksha bangkit pelan. Mendekati orang lain. Menarik bajunya. Lagi. Lagi. Dan lagi.
Semakin banyak mata menoleh. Beberapa menunjuknya. Beberapa membuat tanda aneh di udara, seperti doa. Seseorang melemparkan sesuatu. Batu kecil. Mengenai bahunya. Lalu satu lagi. Dan satu lagi.
“Trel'kar! Eral Tess!” teriak seseorang.
Raksha menutup kepala, berjongkok, tubuhnya dihujani batu, ludah, makian yang tak dimengerti. Ia menangis tanpa suara. Dunia ini… seperti menolaknya. Menyebutnya kutukan. Penyakit. Sesat.
Tiba-tiba sebuah tangan menarik rambutnya, menyeretnya dari kerumunan. Raksha berteriak, meronta, tapi tangan itu kuat. Lelaki besar dengan wajah penuh luka menyeretnya ke gang buntu. Mata lelaki itu gelap. Nafasnya bau anggur asam.
“Laz'var… Anim… Arashel…” gumamnya, seperti mantra aneh. Ia menarik pisau kecil dari balik sabuknya.
Raksha menatapnya, matanya melebar ketakutan. Dunia mendadak membisu. Hanya suara napas mereka. Dan desir pelan pisau itu terangkat.
Aku tak mau mati. pikir Raksha.
Saat pisau itu mendekat, Raksha menendang tulang kering lelaki itu sekuat tenaga, lalu berlari. Lelaki itu mengumpat keras, mengejarnya.
Raksha berlari menembus kerumunan, melewati pasar, menabrak orang-orang, jatuh bangun, hingga ia menemukan lubang kecil di antara dua rumah. Ia menyelinap masuk, bersembunyi di kegelapan. Napasnya terengah. Tubuhnya luka-luka.
Malam itu, Raksha meringkuk sendirian di bawah atap reyot. Perutnya kosong. Luka-lukanya perih.
Apa aku akan mati di sini? pikirnya.