Napas Raksha masih memburu ketika langkah mereka melambat. Zaid menoleh sekilas, memastikan Raksha masih mengikutinya, lalu berjalan lebih pelan melewati gang-gang kecil yang hanya muat satu orang.
“Ayo, sini. Tempatku nggak jauh,” kata Zaid ringan, meski nada suaranya terdengar sedikit kelelahan.
Raksha diam, hanya mengikuti. Kakinya terasa berat, tenggorokannya kering. Ia tak tahu harus ke mana lagi, jadi langkah anak itu terasa seperti satu-satunya arah.
Mereka sampai di sebuah ruang kecil di bawah bangunan reyot, tersembunyi di balik tumpukan kayu dan kain sobek. Tempat itu gelap, berdebu, tapi ada selimut usang, sebuah kendi kecil, dan roti kering di sudut.
Zaid duduk sambil menyandarkan punggung ke dinding. “Istirahatlah di sini. Nggak ada yang nemu tempat ini, percaya deh.”
Raksha berdiri canggung. Matanya menyisir tempat itu, setengah ragu, setengah lega. Akhirnya ia mendekat dan duduk pelan di lantai.
“Terima kasih,” bisiknya pelan.
Zaid menoleh, tersenyum kecil. “Eh, kamu siapa sih? Namamu apa?”
Raksha menatapnya sejenak. “…Raksha.”
“Raksha…? Nama yang aneh.” Zaid tertawa pelan. “Aku Zaid.”
Raksha hanya mengangguk, tubuhnya perlahan mulai merasakan hangat tempat itu, walau di luar dingin dan keras menunggu.
Untuk pertama kalinya, malam itu tak terasa terlalu menakutkan.
Raksha bersandar pelan di dinding, menatap Zaid yang sedang menggigit potongan roti keras. Suara perutnya sendiri pelan, tapi tak tertahan. Zaid mendengar itu, lalu melemparkan separuh rotinya.
“Makan. Lumayan buat ngisi perut.”
Raksha menangkapnya ragu. “Kamu nggak marah?”
“Nggak lah. Kita sama-sama di jalan.” Zaid tersenyum. Ia menatap Raksha lama, lalu bertanya, “Eh… kamu dari mana, sih? Kok mukamu aneh. Aku belum pernah liat orang kayak kamu.”
Raksha menunduk. Bagaimana menjawabnya? Apa ia harus bilang ia bukan dari dunia ini? Ia hanya menggeleng pelan. “Jauh.”
“Jauh? Wah… jangan-jangan kamu anak ras Mervan? Soalnya mukamu kayak mereka.” Zaid tertawa kecil. “Tapi aneh juga, kamu sendirian di sini. Biasanya Mervan tinggalnya di Alraith, bukan di kota kayak gini.”
Raksha hanya diam. Nama-nama itu asing, tapi ia mencatatnya di kepalanya.