Tahun keempat belas, Aruna merasakan kembali semilir angin laut yang membelai rambut perak sepinggangnya. Kedua matanya mengabsen sejumlah pohon kelapa siap panen yang menjulang tinggi. Kicauan burung dan deburan ombak menyambut kedatangan keluarga Aruna di kampung halaman yang lama tidak kunjungi. Aruna memeluk erat Kakek Baruna dan Nenek Hermini. Oh, Nenek Hermini sampai menangis saking tidak kuatnya menahan berkarung-karung rindu. Setelah prosesi melepas rindu berlangsung, Aruna langsung melepas sepatunya lalu berlari menuju pantai. Dia tidak membantu orang tuanya yang sedang menurunkan barang dari mobil.
"Yes! Pulang kampung!" seru Aruna. Gadis itu tersenyum licik kemudian mengambil napas berat. "Jadi, liburanku tinggal ... oh, masih lama sekali. Oke, aku enggan memikirkan apapun, aku enggan melakukan apapun. Aku akan menikmati liburan ini dengan baik, kemudian kembali produktif sepulang dari sini." Aruna berdesis. Isi kepalanya beradu antara healing dan thinking about her future.
"Aruna!" panggil Marvin, ayah Aruna yang kelihatannya garang, tetapi hatinya selembut tahu putih. Bekas luka seperti dicakar hewan buas di atas mata kanan Marvin dan dikaruniai tubuh kekar sukses membuat siapapun bergidik ketika pertama kali melihatnya. Selain itu, aura keberadaan Marvin terasa sangat kuat hingga seorang nelayan yang berjalan di depannya langsung terbungkuk-bungkuk ketakutan.
Mari beri dia senyuman, batin Aruna. "Iya, Yah. Aku ke sana!" seru Aruna sambil memaksakan untuk tersenyum lebar. Teknik senyum dengan mata berbinar ini ampuh untuk meluluhkan hati Marvin, terlebih jika Aruna butuh uang untuk membeli jajanan via online.
"Cih," decak Marvin. Marvin berbalik, tetapi Aruna tampak bisa melihat bunga-bunga bermekaran di sekitar Marvin. Ayah satu anak itu menutup matanya sambil mengepalkan tangan. Sial, anak itu lucu sekali.
"Hehe. Ayah seperti anak kecil saja." Aruna berlari menghampiri Marvin.
Tiga kelapa muda siap santap sudah tersedia di teras rumah Kakek Baruna. Kelapa muda ini langsung diambil dari perkebunan belakang rumah. Selain berprofesi sebagai nelayan, Kakek Baruna juga memiliki lahan perkebunan kelapa yang sangat luas. Dirinya sudah dikenal baik oleh para tengkulak sekitar. Orang tua (atau orang dahulu) memang sudah teruji sikap ulet dan kerja kerasnya. Meskipun kulit sudah sangat keriput, mata sudah sangat sayu, dan gigi sudah sangat lemah, Kakek Baruna tetap semangat mengurus perkebunannya. Pernah Sidna, ibu Aruna menyuruh Kakek Baruna untuk istirahat sejenak dari pekerjaannya. Namun, Kakek Baruna justru bosan di rumah dan kembali lagi ke perkebunan sebab di sanalah kebahagiaannya tercipta–apalagi saat musim panen tiba.
"Pisang goreng ... hush, hush." Tangan kanan Nenek Hermini membawa piring berisi pisang goreng yang baru diangkat dari kuali, sementara tangan kirinya mengusir ayam-ayam muda yang rakus mematuk apa saja di tanah teras rumah.
Seekor kucing tua berwarna abu-abu gelap yang berjalan pincang berjalan memasuki rumah. Kakek Baruna mengelusnya lembut.
Aruna mengambil sepotong pisang goreng sambil mengamati nenek dan kakeknya. Aruna penasaran. Sidna bilang, Kakek Baruna dan Nenek Hermini sudah hidup bersama sejak lama, sudah lima puluh atau enam puluh tahun mungkin. Lantas, mereka melakukan apa saja? Mereka membicarakan apa saja selain perkebunan kelapa yang super luas dan peternakan ayam kampung yang sederhana. Aruna belum mendapatkan jawaban pastinya, tetapi dia percaya bahwa komunikasi adalah aspek utama dalam tiap hubungan, terlebih hubungan keluarga.