NUANA

Annisa Dyah Novia Arianto
Chapter #2

2. Malam

Tengah malam, Aruna terbangun karena ranting pohon mengetuk-ngetuk jendela kamar. Aruna haus dan kebelet pipis–kombo kewajiban yang tercekik oleh imajinasi liar gulitanya malam. Dengkuran keras Sidna di kamar sebelah terdengar kencang memecah sunyinya suasana. Udara dingin menyelimuti. Aruna menarik kembali selimutnya. Namun, kewajiban alamiah manusia harus tetap dipenuhi. Perlahan, gadis berpiyama biru itu mengendap keluar kamar.

Lukisan bergambar Kakek Baruna dan Nenek Hermini tampak seolah memperhatikan gerak-gerik Aruna. Deting jam bergerak konstan, berbeda dengan detak jantung Aruna yang berdebar kencang. Padahal tidak ada sesuatu yang menakutkan di sini. Selama ini, Kakek Baruna dan Nenek Hermini juga damai-tentram saja tinggal di rumah. Ah, dasar orang kota yang suka hal mistis atau klenik, tetapi akan lari terbirit-birit jika mengalaminya.

"Pyuuh, baiklah, Aruna. Kau tinggal berjalan ke kamar mandi, menyalakan lampu kamar mandi, dan pipis, oke. Oh, kalau saja tenggorokanku tidak kering, aku tidak perlu ke dapur yang super gelap dan tradisional itu. Tidak mungkin kakek atau nenek menyalakan tungku tengah malam begini." Aruna berpikir keras. Dia bahkan memikirkan segmen waktu berangkat, di kamar mandi, dan kembali ke kamar tidur serta kemungkinan tiba-tiba berlari.

Kalau di film horor, bakal ada tangan yang muncul dari lantai, kan? Kemudian, aku akan ditarik ke bawah tanah yang ... punya rahasia kelam ... atau peti mati, batin Aruna bergejolak karena imajinasi liarnya.

Tok, tok, tok.

Bulu kuduk Aruna berdiri.

"Aduh, gajadi, deh." Aruna kembali menutup pintu kamarnya.

Kriekk, pintu kamar Aruna tersendat oleh kayu yang telah usang.

Aruna merasa, kamarnya terasa mencekam. Cermin lemari seolah akan memantulkan bayangan hitam yang siap menerkam tubuh Aruna, ranting pohon yang mengetuk-ngetuk jendela kamar seolah akan memanjang dan menarik kaki Aruna, dan jangan lupakan tentang kolong kasur yang mungkin saja menjadi tempat persembunyian sesuatu. Aruna sudah tidak bisa tidur lagi. Dia memandang langit-langit kamar dengan selimut yang menutupi hidung hingga kaki.

Kriek, kriek. Sesuatu mencoba untuk membuka jendela kamar.

"S-siapa?" tanya Aruna dengan keberanian minim.

Sesuatu itu semakin mendesak untuk masuk ke kamar Aruna melalui jendela. Denting jam seolah bergerak lebih lambat dan suara kriek-kriek itu semakin kencang. Aruna bersyukur telah mengunci jendela rapat-rapat sebelum tidur. Namun, lama-kelamaan, rasanya sesuatu itu bisa membuka jendela, bahkan merusaknya.

Sunyi sedetik. Angin malam menyentuh bulu kuduk tangan Aruna yang sudah meremang sempurna. Pandangan Aruna tidak bisa beralih dari jendela yang tiba-tiba diam. Denting jam menghantui Aruna, semakin berjalan pada alur selanjutnya. Keringat dingin perlahan mengucur dari dahi Aruna. Suara gemeresek radio terdengar. Aruna menoleh sejenak, lalu ....

BAAA! Sesosok hitam berbau amis menerjang wajah Aruna bersamaan dengan cairan hangat yang membasahi kasur.

"Bwahaha, payah! Memangnya kau itu anak kucing yang masih mengompol?" Casina beralih dari wajah Aruna. Dengan langkah pincang, dia berjalan di samping Aruna.

Lihat selengkapnya