NUANA

Annisa Dyah Novia Arianto
Chapter #3

3. Casina

Setahun yang lalu, seekor kucing betina abu-abu tua dibawa oleh Yoyom, tangan kananku. Tubuhnya kurus sementara kedua matanya amat sayu. Yoyom menemukannya di pulau tempatnya singgah ketika melaut. Yoyom dan ketiga anak buahnya sama sekali tidak mengetahui asal usul–atau setidaknya alasan kucing tersebut datang. Dini hari itu, seekor kucing terkapar kelaparan dan dehidrasi di bibir pantai. Kondisinya basah kuyup. Yoyom menyangkal bahwa kucing tersebut berenang dari antah berantah. Napasnya menipis.

Ketika salah satu anak buah Yoyom memberikan seekor ikan hasil tangkapan, kucing itu langsung melahapnya dengan rakus, seolah hendak memakan tangan yang mengulurkan ikan. Anak buah Yoyom bergidik ngeri. Pasalnya, perjalanan malam seperti ini suka mengundang aktivitas supranatural. Namun, Yoyom sebagai ketua nelayan segera menyelimuti kucing tersebut dengan handuk hangat yang dibawanya. Dia mengingat ucapanku untuk selalu berkasih sayang karena itu merupakan pesan leluhur. Yoyom juga percaya bahwa aku dapat mengobati kucingnya.

Pagi harinya, ketika aku sedang memeriksa hasil panen, Yoyom membawa kucing itu menggunakan kandang ayam. Aku segera menghentikan aktivitasku. Beberapa pekerja di perkebunan kelapa melirik. Aku mendengar napas Yoyom yang tidak beraturan. Dia pasti langsung kemari setelah mendaratkan kapalnya. Hanya ada satu anak buah yang mengekor di belakang Yoyom, yang lain pasti sedang membawa hasil tangkapan ke pasar induk.

"Sumpah, Pak. Saya lihat sendiri kucing ini terdampar di pantai. Saya pikir, masa iya dia berenang, tapi berenang dari mana? Pulaunya jauh-jauh semua. Saya aja kalau mau pindah pulau harus berjam-jam. Aneh betul ini kucing!" Yoyom bercerita dengan menggebu-gebu, tetapi tangannya membuka kandang pelan-pelan.

Begitu membuka handuk yang menyelimuti tubuh kucing, aku tidak merasakan tanda-tanda kehidupan darinya. Tubuhnya dingin dan kaku. Mungkin sudah mati dari beberapa jam yang lalu atau sudah mati ketika di kapal Yoyom. Bau amis menyengat hidung kami. Amis bangkai dan bau khas laut menyergap. Aku melihat kedua mata Yoyom yang membelalak tidak percaya. Aku mengingatkannya bahwa semua yang bernyawa akan mati, termasuk kucing yang misterius, ah, tidak, kucing yang diberkati ini.

Pagi itu, aku dan Yoyom menguburkan si kucing tak jauh dari perkebunan. Pekerja yang lain sudah kuperintahkan untuk tetap bekerja. Kami berdoa sejenak, lalu kembali ke perkebunan. Kami tidak mengharap apa-apa, juga tidak memikirkan apa-apa terkait kematian kucing tersebut.

Esok harinya, hujan turun deras di kampung kami. Petir menggelegar di mana-mana. Gesekan daun kelapa terdengar kencang. Angin kencang menghantam. Ketika petir kesekian kalinya menyambar, jendela kamarku terbuka dengan kasar. Ada jasad, tidak, kucing abu-abu itu di sana. Kedua matanya yang berwarna kuning tampak menyala-nyala. Aku dan Hermini tidak bisa berkata apa-apa. Hermini tidak tahu menahu tentang kucing tersebut. Di luar, petir masih menyambar.

Gusti, lindungilah kami, batinku beberapa kali.

"Terima kasih. Taruhanku, aku masih hidup." Kucing itu tersenyum padaku. Dia ... hidup dan tersenyum. Kumis-kumisnya terangkat riang. "Ini kehidupanku yang terakhir kalinya."

Kemudian, pintu jendela tertutup kembali. Semuanya kembali dalam mimpi.

***

Seperti biasa, aku pergi ke perkebunan. Masih banyak hasil panen kelapa yang perlu dihitung sebelum dikirim ke para tengkulak. Tentang mimpi atau kenyataan tadi, aku tidak terlalu memedulikannya. Aku percaya bahwa kebaikan akan menyelimuti. Namun, sebelum pergi ke gudang penyimpanan kelapa, kedua kakiku seolah diajak untuk menziarahi kuburan kucing yang mati kemarin.

"Hilang." Gundukan baru itu hilang, datar seperti tanah di sekitarnya, bahkan seolah tidak ada bekas galian kuburan. Seandainya karena hujan lebat, tentu tidak akan seperti ini bekasnya. Aku mengucek kedua mata. Sekujur tubuhku bergidik.

"Baruna." Suara yang familiar terdengar. Suara yang terdengar jelas olehku dalam mimpi tadi pagi. Risauan badai angin tak dapat menyapu suara kucing itu, karena bukan telinga, melainkan hati yang mendengar.

"Aku telah bertemu Yoyom hari ini, tepat setelah aku dibangkitkan kembali. Namun, hanya kau yang bisa bangkit dari mimpi nyata yang menyeramkan itu. Sekarang, Yoyom sedang terbaring lemah di kasurnya. Dia demam tinggi. Apakah aku semenakutkan itu? Aish, Nuana itu memang suka membangkitkanku secara tiba-tiba." Tubuh kucing tersebut bermanja-manja di kakiku.

Lihat selengkapnya