Ini tidak pernah terjadi padaku sebelumnya. Sumpah. Demi Tuhan. Sepertinya sel-sel otakku sedang mengalami korsleting. Pasalnya aku masih belum bisa berhenti memikirkannya, betapa pun kerasnya aku berusaha menyingkirkan bayangannya dari kepalaku. Memoriku terus saja memutar ulang momen yang kulewati dengannya beberapa jam lalu. Sebuah momen yang membuat waktu seperti berhenti berdetak. Serupa candu, bibirku tak henti-henti mengulas senyum kala mengingat setiap lekuk wajahnya di sela hujan yang merinai sore tadi. Pipiku rasanya terbakar. Entah bagaimana ini bisa terjadi? Yang jelas mencicipi wajahnya secara diam-diam membuat darahku berdesir, sementara denyut jantungku meletup-letup seperti ledakan popcorn.
Kuraba dadaku untuk ke sekian kalinya. Hey, what’s going on in here? Aku tidak tahu kapan semua ini bermula. Ajaibnya, hanya dengan mengeja namanya saja dadaku seakan dijalari rasa hangat. Pun tubuhku mendadak seringan putik dandelion yang melayang-layang di udara. Aneh memang. Secara, dia bukan Charlie Puth, penyanyi asal New Jersey bersuara lembut itu. Bukan pula Josh Hutcherson, aktor berwajah tampan yang sukses mencuri perhatianku lewat perannya sebagai Peeta Mellark di film The Hunger Games. Ah, entah bagaimana menjelaskannya. Dia memang bukan keduanya, tapi bagiku dia tidak kalah keren dari kedua selebriti terkenal itu.
Seperti yang sudah kubilang di awal, ini tidak pernah terjadi sebelumnya padaku. Mungkin dia satu-satunya makhluk berkromosom XY yang berhasil membuat perasaanku jungkir balik sepanjang sisa hari ini. Aku ingat, kala berdiri sepayung dengannya beberapa waktu lalu, pikiranku jadi beku dan bibirku mendadak kelu. Segala gerakanku ikut terhenti selama satu-dua detik. Wajahku terasa panas. Sekujur tubuhku menegang.
Nuansa Bening.
Lidahku kembali mengeja namanya. Jujur, dialah akar dari semua emosi yang kurasakan saat ini. Dialah yang membuat hatiku serasa bertabur pelangi. Dialah penyebab jantungku tak lekang berdebar riuh. Dan dia pula lah yang membuatku salah tingkah karena sinar hangat yang terbias dari manik matanya yang seperti bintang di langit. Tak tahu mengapa, ada sensasi tersendiri ketika mencicipi namanya di lidahku, seperti ledakan es krim di mulut. Manis, lembut, dan bikin adem. Rongga dadaku seakan dipenuhi kekaguman.
Selain punya nama yang unik, dia juga memiliki wajah yang rupawan—kupikir itu satu-satunya alasan paling masuk akal kenapa dia langsung populer sejak hari pertama masuk sekolah pagi tadi. Yeah, Nuansa Bening memiliki sepasang alis tebal yang membingkai sempurna sepasang manik matanya yang sewarna kayu. Aku yakin sejuta persen kau—jika kau cewek normal—akan menuruti apa saja maunya saat dia memberimu tatapan memelas.
Aku pribadi menyukai rambutnya yang tebal bergelombang, bentuk hidungnya yang runcing, juga rahangnya yang persegi. Hampir sebagian besar cewek-cewek di kelasku langsung asyik berkasak-kusuk memuji ketampanannya dan sepakat bilang keberadaan Nuansa Bening sukses membawa angin segar di dalam kelas yang sebelumnya sedikit membosankan.
Ini gila. Seingatku, selama jam pelajaran fisika berlangsung, seluruh perhatian kaum Hawa hanya terfokus kepada cowok itu. Dan ketika bel istirahat berdering, mereka kompak merubungi meja cowok itu tak ubahnya lalat untuk berkenalan dan berbasa-basi. Sementara aku... Hh, tentu saja aku tidak seberani mereka. Oh yang benar saja?! Yang bisa aku lakukan saat itu hanya membeku di meja sambil mencoba menyibukkan diri dengan membuka-buka buku pelajaran yang entah mengapa terasa begitu membosankan.
Satu hal yang akhirnya kusadari bahwa seberapa keras aku mencoba fokus, tetap saja aku sulit berkonsentrasi. Perasaanku benar-benar tidak menentu seperti cuaca yang melanda Ibukota baru-baru ini. Sebentar-sebentar panas, sebentar-sebentar hujan. Sungguh, belum pernah aku merasa sesulit itu menyerap informasi dari buku-buku yang sedang kubaca. Itu pertama kalinya.
By the way, pagi tadi adalah kali pertamaku melihat sosoknya. Posturnya yang kelewat tinggi membuatnya terlihat jelas dari balik punggung Pak Rudolf dan Bu Sarah ketika dua petugas bagian Kesiswaan itu memasuki kelas XII MIA 1—kelasku. Tinggi badannya melebihi tinggi murid laki-laki di kelasku, perkiraanku mungkin sekitar 178 senti atau lebih sedikit. Selain bertubuh jangkung, penampilannya pun sempurna dengan seragam sekolah yang rapi, sepasang sepatu sneakers model terbaru, tas punggung sport warna biru, serta rambut hitam mengilat tertata kelimis oleh sepuhan gel. Sayang sekali, setangkup bibir itu tak kunjung menampakkan tanda-tanda akan melengkung atau pun mengembangkan seulas senyum.
Ruangan kelas seolah dikepung hening secara tiba-tiba karena kehadirannya. Percaya atau tidak, kemunculan Nuansa Bening praktis membuat kaki dan tanganku seketika menjadi lembek seperti ubur-ubur. Walhasil, spidol whiteboard yang kugenggam saat mengerjakan soal latihan fisika dari Bu Amber di depan kelas pun ikut-ikutan terlepas dan jatuh bergelinding di lantai.
Tolol.
Cepat-cepat aku bergerak memungut spidol sialan itu dan berdiri memunggungi papan tulis. Bungkam sejuta bahasa. Diam-diam kulirik Kanya, teman sebangkuku itu tengah asyik cekikikan di balik buku cetaknya. Bisa kutebak, cewek berambut kriwil-kriwil itu pasti sedang menertawai insiden tolol yang kualami barusan. Ih, sebel!
Sejurus waktu, secara bergantian Pak Rudolf dan Bu Sarah menyatakan maksud dan tujuan mereka pagi itu ke hadapan Bu Amber. Aku sama sekali tidak berminat mencuri dengar obrolan mereka. Pasalnya, seperti terhipnotis, fokus pandanganku hanya tertuju ke arah Nuansa Bening yang pagi itu terlihat sangaaaat tampan, berkharisma dan bercahaya, seolah-olah ia adalah jelmaan malaikat. Otakku pun sejenak berhenti bekerja dari urusan menyelesaikan soal latihan fisika di papan tulis.
Akan tetapi… Astaga. Cowok itu tiba-tiba menoleh dan balas menatapku dengan matanya yang tajam melelehkan. Rasa hangat menjalari dada, membuat wajahku jadi luar biasa panas. Jantungku kebat-kebit tak keruan. Dalam keadaan bingung bercampur grogi super akut, buru-buru kutanggalkan kacamata, berpura-pura mengucek mata lalu mengenakannya seperti sediakala. Setelah itu kuputuskan untuk kembali mengerjakan soal latihan fisika di papan tulis. Butuh setidaknya lima menit untuk benar-benar mengenyahkan semburat kecemasan dalam dadaku dan fokus mengerjakan soal latihan tersebut di bawah pengawasan matanya.
Hanya berselang dua menit setelah Pak Rudolf dan Bu Sarah berpamitan meninggalkan ruangan kelas, lagi-lagi kudapati jantungku ber-dag-dig-dug menyimak suara berat cowok itu yang oleh Bu Amber diminta untuk memperkenalkan diri di depan kelas.
“Nama saya Nuansa Bening. O iya, cukup panggil Ben saja. Terima kasih.” Suaranya tenang, setenang ekspresi wajahnya yang datar. Tebakanku dia tipe cowok yang irit bicara.
“Baiklah, Ben. Sesi perkenalannya sudah selesai.” Bu Amber mengambil alih kelas, lalu berseru. “Sekarang kamu boleh duduk di bangku paling belakang sana bareng Ketua kelas, William.”
“Baik, Bu.”
Samar-samar kudengar suara langkah cowok itu berderap menjauh. Aku tidak berani menoleh. Ah, yang benar saja? Seperti dugaanku, murid-murid cewek pun langsung berkasak-kusuk seperti sekawanan itik, dan baru berhenti setelah Bu Amber ikut ambil bagian dengan berteriak keras-keras. “TIDAK BOLEH ADA YANG BERISIK DI JAM SAYA. MENGERTIIII?!!” disertai gebrakan penggaris kayu keras-keras di meja guru.
Cekikikan, gumaman, dan segala bentuk kasak-kusuk di ruangan kelas pun menguap seketika. Yang terdengar di telingaku selanjutnya hanya bunyi hentakan spidol yang kupegang di permukaan papan tulis, dan tentu saja suara dentum jantungku yang seolah tak berhenti berpacu kencang hingga soal latihan fisika di papan tulis selesai kukerjakan.
“Sudah selesai, Dis?” Bu Amber menegurku sambil mencermati hasil kerjaku di papan tulis. Kulihat matanya yang juga dibingkai kacamata minus seperti punyaku melebar hingga manik matanya seakan hendak mencolot keluar.
Aku terenyak dan buru-buru menjawab dengan kikuk, “Sud-sudah, Bu.”
“Aduh, gimana sih? Katanya murid paling berpestasi, tapi menjawab soal semudah itu saja kok sampai butuh waktu belasan menit.” Perempuan paruh baya itu sejenak bergeming memindai jawabanku di papan tulis dengan cermat. Lalu kulihat keningnya berkerut samar. “Kamu yakin jawabanmu itu sudah tepat?” tanyanya kemudian.
Mendadak perutku terasa bergolak, efek dari pertanyaan Bu Amber yang tak kusangka-sangka. Kupindai lagi jawabanku di papan tulis, mencoba mencari tahu bagian mana yang kulewatkan, tapi otakku seperti mampat dan sulit dipaksa berpikir.
Satu menit. Dua Menit. Hingga menit ketiga berakhir aku masih berkutat mencocokkan rumus yang entah mengapa tak jua menemukan titik temu. Pikiranku kalut luar biasa. Alhasil, kujawab saja pertanyaan Bu Amber dengan anggukkan pelan.