Jam duduk di rak buku sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Menit demi menit berlalu seolah berlari marathon, tapi aku seakan tertinggal jauuuh di belakang. Terbelenggu di ranjang karena demam yang melumpuhkan seluruh inderaku.
Di luar hujan sedikit mereda setelah enam jam nonstop mengguyur bumi secara gila-gilaan. Angin kencang memercikkan bulir-bulir air ke mana-mana hingga kaca jendela kamarku memburam. Aku menggeliat di kasur seraya menggigit bibir menahan rasa bosan yang menyelubungiku sedari tadi. Hei, siapa juga yang tidak bosan jika seharian penuh dihabiskan dengan hanya tidur-tiduran di kasur?
Ck. Ini pertama kalinya aku membolos di semester ini, dan rasanya lumayan mengganggu pikiranku. Aku mengerang sebal sementara jari-jariku sibuk meremas ujung selimut, alih-alih merobeknya menjadi dua bagian. Mestinya saat ini aku berada di dalam ruang kesenian dan fokus memerhatikan Pak Slamet menerangkan cara memainkan alat musik tradisional.
Jujur saja, selain pelajaran olahraga, aku juga payah di pelajaran kesenian. Tak satu pun dari sekian banyak alat musik tradisional yang disediakan pihak sekolah bisa kumainkan. Setiap kali kelas kesenian berlangsung, seringnya aku memilih bangku paling belakang dan duduk menonton teman-teman memainkan alat musik yang beberapa di antaranya bahkan tidak kuketahui jelas apa nama serta asal-usulnya. Jika sudah begitu, terkadang aku menyesali diriku yang jarang memperhatikan pelajaran kesenian.
Pelan-pelan aku bergeser dan memilih duduk di depan kaca jendela yang membingkai langit basah berwarna abu-abu. Dalam sekejap ingatanku kembali terhubung dengan adegan bersama Nuansa Bening kemarin. Mataku seketika penuh dengan lekuk wajahnya, alisnya, matanya, hidungnya, bibirnya...
Hmm. Bagimu, ini mungkin terdengar konyol atau menggelikan. Namun perasaanku mengatakan bahwa suatu hari dia akan berdiri di hadapanku, menggenggam tanganku dan membuat langit biru di atas kepalaku berubah menjadi merah muda.
Ya Tuhan. Lama-lama aku bisa gila sungguhan kalau begini terus.
Ponselku berbunyi. Ada satu pesan WA masuk. Aku lekas membuka pesan dari Kanya yang isinya sebuah pertanyaan, kenapa aku tidak masuk sekolah hari ini? Ya, bukan Kanya namanya kalau cewek itu tidak tertarik lagi dengan urusan orang lain.
Kujawab sakit demam gara-gara kehujanan pulang sekolah kemarin. Tak lupa juga kutekankan padanya bahwa Mama telah menyerahkan bukti surat Keterangan Dokter untuk wali kelas pagi tadi sebelum berangkat ke kantor. Tapi, tentu Kanya tidak bisa percaya begitu saja. Sebab dia tahu kalau aku tak mungkin kehujanan, sebab tak peduli cuaca panas atau pun hujan di dalam tasku selalu tersedia payung pemberian Keala. Walhasil, Kanya masih tetap dengan anggapannya bahwa aku bolos sekolah hari ini lantaran merasa malu. Malu karena jawaban soal fisika Nuansa Bening di papan tulis kemarin lebih akurat dibanding jawabanku.
Fuh. Diingatkan kembali akan hal itu, tak pelak membuat sebagian diriku meradang. Aku tak bilang aku tidak menyukai Nuansa Bening. Bagaimana bisa aku tidak menyukainya? Dia tampan, tinggi, jago pelajaran Fisika pula. Bahkan otaknya bisa jadi lebih cerdas melebihi otakku. Nuansa Bening punya nilai keistimewaan tersendiri. Maksudku, dia punya sesuatu, entah apa, yang tak dimiliki cowok seumurannya. Akan tetapi…
Ya ampun! Ada apa sesungguhnya dengan hatiku? Bagaimana bisa semudah ini bergetar hanya karena membayangkan anak baru itu?
Ponselku kembali berbunyi dan sukses merebut kembali perhatianku. Masih di ruang WA, Kanya menulis panjang lebar tentang suasana heboh di kelas kesenian yang sayangnya kulewatkan hari ini. Katanya, Nuansa Bening sungguh berbakat. Pasalnya, dia bisa memainkan semua alat musik yang ada dengan mudah. Pak Slamet sampai takjub dibuatnya.
Aku bisa merasakan napasku berhenti di kerongkongan sewaktu membacanya. Dalam dadaku sontak menyerukan kata ‘celaka!’ yang sialnya tak mampu kujelaskan.
“Halo, Dis?” Kanya langsung menelepon karena pesan WA-nya hanya kubaca saja tapi tak kunjung kubalas. “Kamu beneran sakit?”
Aku berusaha menyetel suara supaya terdengar tidak kecewa. “Iya. Tapi sekarang udah baikan kok. Besok aku udah masuk sekolah lagi,” yakinku.