Pagi ini cuaca tak semuram kemarin. Langit tampak membiru dengan carikan awan-awan tipis yang tersebar serupa gumpalan kapas. Adem sekali. Sambil menikmati Attention-nya Charlie Puth lewat earphone, kurogoh buku catatan Matematika dari dalam tas. Mencoba memastikan sekali lagi bahwa semua rumus yang tertera di sana sudah terekam dengan baik di otakku—sebagai amunisi menghadapi ulangan matematika di jam pertama nanti.
Well, sejak beberapa hari terakhir aku memang sengaja mengurangi jatah tidur malam demi menyiapkan diri semaksimal mungkin menghadapi ulangan Matematika minggu ini. Ke depannya mau tak mau harus ditambah dua atau tiga jam lagi, mengingat kemunculan Nuansa Bening dengan kinerja otaknya yang cemerlang tak pelak membuatku merasa seperti diteror makhluk gaib. Nuansa Bening jelas bukan jenis murid yang bisa dianggap remeh, aku bisa merasakannya di tulangku. Bahkan mungkin dia bakal jadi calon penerima hadiah bergengsi sekelas Nobel beberapa tahun mendatang.
Jujur saja, apa yang terjadi di depan kelas dua hari lalu masih membuatku merasa seperti orang bodoh. Aku tahu itu bukan salah Nuansa Bening, tapi tetap saja hal itu sedikit melukai egoku. Untuk itu aku tidak bisa hanya diam dan pasrah. Dalam hal ini, aku tak mau gagal saat ulangan Matematika nanti.
Usai membayar aku bergegas turun dari taksi yang kutumpangi. Di saat bersamaan, Nuansa Bening yang kebetulan berdiri tak jauh dari gerbang masuk sekolah menatapku hingga segala aktifitas di sekelilingku seolah berhenti bergerak begitu saja. Pandangan kami yang sempat bertaut selama sepersekian detik cukup membuat rasa hangat itu kembali merayapi dada dan terus menjalar hingga pipiku serasa terbakar. Kilatan kecil di kedua bola matanya yang hitam dalam sekejap mencuri denyut jantungku.
Ah, aku gemas. Beragam emosi meluap tak terbendung di dada dan menyumbat pikiranku. Dalam sekejap rasa canggung menyergapku. Kugigit bibir bawahku. Untuk ke sekian kalinya aku merasa seperti orang tolol. Tahu sendiri kan, hal semacam ini cukup merepotkan bagi orang-orang seperti aku yang sebelumnya hanya berkutat pada buku-buku pelajaran dan fokus pada nilai-nilai akademis saja.
Ya ampun. Bagaimana ini?
Sebelum tatapannya benar-benar membuatku terlihat tolol, aku melangkah gegas menuju kelas dengan senyum natural yang tak bisa kutahan lagi. Seperti yang kubilang di awal, Nuansa Bening adalah satu-satunya cowok yang sukses membuatku salah tingkah lewat tatapan matanya. Tidak tahu kenapa aku benar-benar menyukai caranya menatapku. Sorot matanya yang tajam itu sukses menggelitik bibirku sekaligus menciptakan sensasi aneh di perutku. Rasanya seperti ada ratusan ekor kupu-kupu merah jambu yang berlomba-lomba mengepakkan sayapnya di dalam sana setiap kali aku bertukar pandang dengannya.
Begitu memasuki kelas, Kanya tiba-tiba menghampiriku dan menyeretku keluar kelas. “Ada apa?” tanyaku seraya mengikutinya menuju emperan kelas.
“Apa kamu sedang cari gara-gara sama Ben?” Kanya menatapku serius.
Aku protes karena Kanya masih terus saja memperhatikanku dari dekat. “Menurutmu, kenapa aku harus cari gara-gara sama dia?”
“Dengar ya, Dis. Kemarin Ben mencegatku di gerbang depan, mukanya serius banget gitu.” Kanya menarik napas dalam-dalam, dan tanpa menunggu komentarku dia lanjut berkata lirih. “Dia bertanya padaku, buku-buku apa saja yang sudah kamu baca selama ini…”
“Kamu ngomong apa sih, Nya?” sambarku, benar-benar tidak paham maksud pertanyaan Kanya.
“Apa kalian pernah bertengkar sebelumnya?”
Aduh. Pertanyaan Kanya makin aneh dan ngaco. Aku merasa sedikit tegang. “Boro-boro, kenal orangnya juga baru kemarin,” elakku memberi alasan.
Kanya memilih untuk tak berbasa-basi lagi. Dia mengembuskan napas lalu menatapku dengan sorot aneh bin curiga. “Terus, ngapain dia pake nanya ke aku segala tentang buku apa yang sudah kamu baca?”
Aku mengangkat alis dengan tatapan superbego. Asal dia tahu saja, sesungguhnya aku juga punya pertanyaan yang sama dalam benakku. “Mana aku tahu,” balasku.
“Nah loh, kan aneh... Iya nggak sih?” Kanya masih menatapku dengan ekspresinya yang sok menebak-nebak, mirip anak kecil yang begitu bersemangat menjawab teka-teki yang dilayangkan badut pesta ulang tahun untuk sebuah hadiah permen atau cokelat.
Serius. Aku tetap bergeming, tak berniat menanggapi ucapan Kanya lebih lanjut. Bukannya aku tidak merasa aneh, hanya saja aku tidak mau ikut berpikiran yang bukan-bukan tentang Nuansa Bening. Lagi pula, wajar-wajar saja jika ada orang lain yang tertarik ingin mengetahui buku bacaan yang pernah kita baca, bukan? Setahuku, aku juga kadang seperti itu. Beberapa teman di media sosial, khususnya para member di salah satu klub baca yang kuikuti saat sedang online pun kerap saling bertanya dan mencari tahu buku apa saja yang pernah dibaca oleh para member klub yang lain. Lalu, apa masalahnya?
“Ssssttt!” pekik Kanya tiba-tiba, mengisyaratkan padaku untuk segera mengunci bibir lewat sorot mata tajam beracunnya yang seakan-akan siap membunuhku jika aku masih berani bertanya. “Diam. O-orangnya lagi jalan ke sini,” bisiknya gemas.
Astaga. Memang benar. Nuansa Bening sedang berjalan kemari. Kami sepakat membungkam beberapa jenak. Aku menggigit bibir, Kanya pun demikian ketika mendapati Nuansa Bening berderap melewati kami dan memasuki kelas. Raut wajahnya masih sekaku yang kuingat, tapi tetap saja jantungku berdegup jumpalitan kala wangi parfumnya kembali menyapa hidungku. Aku bisa merasakan kikuk luar biasa mencengkram benakku karena kehadirannya.
“Oh, emji helooow, dia benar-benar sedingin gunung es di Kutub Utara. Lihat deh, dia bahkan nggak tersenyum sedikit pun.”
Suara dengusan Kanya serentak mengembalikan kesadaranku yang boleh dibilang tersesat entah di belahan bumi mana sesaat lalu. Di luar kendali, seluruh titik persendianku yang tadinya kaku seakan melonggar dalam sekejap. Lekas aku menegakkan posisi tubuhku dan berpaling menatap Kanya yang kontan berspekulasi.
“Kalau aku boleh menebak, sepertinya dia sedang merencanakan sesuatu deh, Dis.”