Numpang Lewat

Okhie vellino erianto
Chapter #1

Numpang Lewat di Hidup Orang #1

Pagi itu, sinar matahari Jakarta menembus jendela kecil kamar kontrakan sederhana di pinggiran kota. Raya Fitri, seorang MC freelance, menatap layar ponselnya dengan tatapan bingung. Sebuah email masuk dari kantor notaris. Nama pengirimnya resmi. Stempel notaris terdaftar, lengkap dengan nomor izin praktik.

Alvin, adiknya yang masih sibuk mengoles roti tawar, melirik ke arah kakaknya yang sejak tadi murung.

"Kenapa, Kak? Muka lo kayak abis diputusin cowok Korea," candanya.

Raya tetap menatap layar ponselnya, kemudian mengangkat wajah.

"Vin, lo kenal siapa sih Darmawan ini? Kenapa gue tiba-tiba dapet undangan pembacaan warisan?"

Alvin berhenti mengunyah. "Darmawan? Siapa tuh? Kagak kenal."

"Gue juga nggak kenal. Tapi alamat notarisnya bener, dokumennya lengkap. Undangannya resmi."

Alvin mendekat, ikut membaca isi email itu.

"Hmm... serem juga, ya. Jangan-jangan penipuan. Biasanya kan yang beginian modelnya minta transfer uang administrasi."

"Nggak ada permintaan apa-apa. Cuma minta gue dateng langsung."

Alvin berpikir sejenak. "Ya udah, Kak. Datengin aja. Siapa tau dapet rejeki nomplok. Kalo pun penipuan, lo tinggal kabur."

Raya menghela napas. "Ya udah deh."

Hari pembacaan warisan pun tiba. Raya mengenakan pakaian sederhana, agak rapi, tapi tetap mencerminkan dirinya yang tidak terbiasa masuk ke lingkungan mewah. Lokasi kantor notarisnya di pusat bisnis Jakarta, gedung tinggi, marmer mengkilap, dan lobby yang terasa dingin walaupun AC-nya adem.

Ketika masuk ruangan, suasana langsung terasa tidak nyaman. Di dalam, sudah duduk beberapa orang yang berpakaian mewah, wajah-wajah keluarga elit Jakarta. Semuanya menatap ke arahnya dengan tatapan sinis dan heran. Seakan kehadiran Raya adalah kesalahan besar.

Seorang wanita berumur sekitar lima puluh tahun menghampirinya. Tubuhnya tegap, riasan tebal menghiasi wajahnya. Perhiasan berkilauan mencolok di jemari dan lehernya.

"Kamu siapa?" tanyanya ketus.

"Saya Raya. Dapat undangan dari notaris," jawab Raya dengan suara pelan.

Wanita itu menatapnya dari atas ke bawah. "Kamu keluarga dari cabang mana?"

Raya gelagapan. "Saya... bukan keluarga. Tapi saya diundang ke sini."

Sebelum situasi makin panas, seorang pria berjas rapi—Pak Herman, notaris yang memegang acara—masuk ke ruangan.

"Selamat pagi, Bapak, Ibu semua. Terima kasih sudah hadir dalam pembacaan surat wasiat almarhum Bapak Darmawan."

Semua orang mulai duduk. Wajah-wajah tegang, beberapa di antaranya menahan nafsu ingin segera tahu isi surat warisan itu.

Lihat selengkapnya