Nun Mati 1962

Tian Setiawati Topandi
Chapter #1

Nun Mati



Dokumentasi milik pribadi


 

Desa Bangbayang, Februari 1962

Pukul 02. 00 WIB

 

MANUSIA tak berwajah itu semakin lama semakin mendekapnya dalam belenggu kesedihan yang tidak berkesudahan. Wajahnya tidak terlihat, tetapi suara serta tawanya begitu membekas di ingatan. Sukmanya dipenuhi oleh dendam yang membara kepada manusia tak berwajah itu. Untuk detik ini, ia tidak bisa membiarkan si bangsat itu menghirup udara bebas. Rasanya baru kemarin ia melihat si biadab itu mencabut pisau yang berlumuran berdarah dari dada suaminya. Tiga bulan—waktu yang cukup untuknya bangun dari pemakaman yang dibuatnya sendiri. Dia tidak bisa kembali mengubur dirinya dalam cemas dan takut. 

Selapis cahaya dari lampu minyak yang ditempel di dinding menerangi wajah yang kecantikannya sudah tergerus oleh nestapa menjadi janda di usia muda. Ia terlalu dewasa untuk disebutkan sebagai gadis, tetapi ia juga terlalu muda untuk disebutkan sebagai wanita. 

Sudah satu jam dia berdiri di depan golok itu. Bukan sedang menikmati ukiran gagang golok itu, tetapi dia sedang mengumpulkan seluruh keberanian dan kebenciannya. Golok ini tersemat di antara dinding anyaman rumah bukan tanpa alasan. Golok ini menjadi kebanggan sang Kepala Dusun karena diberikan langsung oleh Kiai tersohor di desanya—Kiai Ahmad.

Sesekali perempuan itu menoleh dengan pandangan kosong kedua bilik kamar yang redup. Semua begitu hening kecuali dengkuran Abahnya yang bernyanyi mengikuti melodi dan dalamnya tidur. Kali ini, golok itu bisa digunakan bukan hanya sebagai pajangan. Perempuan itu meraih golok lalu menyingkapnya. Bilah golok yang terlihat sangat tajam ditatap dengan senyum penuh seringai. 

Suaminya kini sudah tiada. Jasadnya sudah tertanam di dalam tanah, tetapi sesuatu yang tersisa di dalam suaminya justru membuatnya terkadang menangis, tertawa, dan kini membuatnya berpikir—mau sampai kapan berpura-pura mati. Ia masih berdiri, tak bergerak setapak pun dari lantai pelupuh. Dadanya kembang kempis sedang berusaha menguatkan nyalinya. Tidak akan ada lagi kematian, selain kematian para bangsat yang menamakan dirinya Darul Islam—pikirnya.

Di luar, angin mendesah dengan gelisah karena sejak tadi malam hujan mengiringi kegamangan perempuan ini. Langit masih gelap. Sayup-sayup terdengar suara ciak ayam yang dipelihara di bawah lantai pelupuh.

Lihat selengkapnya