Beberapa jam sebelumnya.
“SUDAH, bunuh saja!”
Wajah pria yang tertangkap basah oleh pasukan tentara ketika sedang mencuri ayam di salah satu rumah warga desa, terlihat begitu lesu. Beberapa warga desa ikut menghakimi pria ini seolah-olah nyawa di dalam tubuhnya sudah tidak bernilai. Mungkin bagi beberapa warga, pria itu bak samsak yang menjadi pelampiasan kekesalan mereka terhadap para gerombolan yang selama ini menghantui kedamaian desa.
Pria itu hanya tertunduk seolah-olah sekarang hidupnya ada di jempol kaki. Dia tahu, kalau pada akhirnya, hidupnya akan berakhir di tangan warga, tentara, atau mungkin tewas ketika sedang baku tembak.
Di depannya, ada pemuda yang baru bergabung dengan tentara selama beberapa bulan ini. Dia mematung menatap pria yang tidak berdaya itu. Bukan amarah yang sekarang sedang menari-nari di pikirannya, dia hanya sedang mencoba berpikir jernih.
“Tunggu! Kita tidak bisa menghakiminya begitu saja!” teriak Pemuda yang bernama Mim.
Mim langsung beranjak dari tempatnya berdiri dan langsung berdiri tegak menghalangi para warga yang ingin menghakimi pria itu.
“Awas! Kamu jangan membelanya! Kamu tidak pernah tahu rasanya kehilangan!” teriak salah seorang warga.
Sekarang, justru Mim yang tertunduk. Dia kembali mengingat wajah bapaknya yang sangat teduh. Dia ingat betul bagaimana Bapak selalu menuntunnya untuk berangkat ke Masigit—sebutan masjid kecil di daerahnya. Bagi Mim, kenangannya bersama Bapak begitu manis sampai-sampai dia sangat ingin menjadi Bapak yang selalu mengayomi anak-anaknya. Bahkan, ada kata-kata yang selalu diingat Mim sampai detik ini:
“Mim, namamu bukan hanya sekadar sebutan. Huruf Mim itu berarti kepala. Kepala adalah otak. Dan otak itu tempatnya akal. Maka, gunakanlah selalu pikiranmu! Bertafakurlah! Renungi dan pahami kalau setiap gerak kehidupan itu adalah tanda kebesaran-Nya,” ucap Bapak berulang kali.
Tanpa banyak bicara, Mim langsung mengangkat tubuh pria yang tidak berdaya itu dengan tangan kanannya. Dia kemudian menyeret pria itu dari kerumunan. Tentu saja, apa yang dilakukannya itu mendapat banyak perlawanan dari warga desa. Beberapa orang berusaha menghentikan langkah Mim.
“Dek ka mana? Can paeh mah ku urang rek diudag![1]” teriak salah seorang warga yang geram.
Mim tidak memperdulikan teriakan para warga. Dia masih saja berusaha menyeret pria itu sambil sesekali melindunginya. Meskipun dia juga jadi ikut menjadi sasaran empuk amarah para warga.
Sampai akhirnya, seorang warga berdiri tegak di hadapannya sambil membawa sebuah golok.
“Wani maju, lengkahan heula aing! [2]” Warga itu berdiri dengan tatapan penuh amarah. Dia bahkan berani mengancam Mim.
Mim terdiam sejenak. Dia menghela napas begitu panjang. Teman sejawat Mim hanya mengikuti langkahnya dari belakang. Mereka juga sama—baru bergabung menjaga wilayah tersebut dalam beberapa bulan ini. Itu membuat mereka bingung harus menyikapi kemarahan warga dengan cara apa.
“Terus Anda mau apa seandainya saya serahkan pria ini?” teriak Mim tiba-tiba menghentikan langkahnya.
“Tentu saja, saya akan membunuhnya! Dia juga yang telah membunuh adik laki-laki saya!” ujar pria itu.
“Nyawa seorang mukmin itu lebih berharga dari pada dunia. Saya akan tetap melindungi pria ini! Karena bagaimana pun, pria ini tetap mukmin walaupun ideologinya melenceng!” ucap Mim yang tak gentar dengan ancaman para warga.
Rupanya warga itu juga lebih berani dari pada Mim yang seorang tentara. Dia masih saja menghalangi jalan Mim.
“Lengkahan heula mayat aing![3]”
Mim kali ini menajamkan tatapannya. Dia lalu mendekatkan wajahnya kepada orang yang sedang menghadang jalannya. Lalu dia berbisik di telinga orang itu.