Dokumentasi Pribadi
HIDUP baginya sudah bak pasir pantai yang digerus ombak laut yang terjang—tidak berjejak dan tidak berpijak. Siang bagaikan malam dan malam bagaikan gelap yang tak bertepi—semuanya sama-sama kelam menghujam. Semua ketakutan warga desa seolah-olah bertumpu di bahunya. Sebagai Kepala Dusun atau sering disebut Rurah, Sanjoehri tidak bisa mundur walaupun keberaniannya sudah tidak setegak dulu. Usia yang sudah tidak muda, ditambah lagi kematian menantunya cukup membuat hidupnya runyam tak beranyam.
Rupanya bukan hanya Nun yang tertampar oleh kematian Musri, pria desa yang baru menikahinya selama tiga bulan ini, Sanjoehri juga cukup terpukul. Bukan karena kematian Musri yang tragis, tetapi tegaknya hati Sanjoehri hancur bak diluluhlantakkan meriam, karena Nun mati hati nuraninya. Indung anu nu ngakandung, bapa anu ngagayuga—tidak akan ada anak tanpa ada kasih sayang ibu dan bapak. Sampai kapan pun, cinta bapak mungkin tidak akan berkurang bahkan bertambah, walaupun cinta itu tidak bisa diungkapkan lewat kata.
Begitu pula cinta Sanjoehri kepada anak pertamanya—Nun. Dia tidak pernah memperlihatkan air mata kesedihan untuk anak gadisnya yang sudah menjanda di umurnya yang ranum—enam belas tahun. Namun setiap hari, hatinya meringis melihat anaknya benar-benar mati mengikuti kematian suaminya. Tidak ada lagi raut wajah bercahaya seperti dulu, sebelum Nun dinikahi oleh Musri. Nun benar-benar mati. Dia hanya diam di kamarnya. Sesekali dia keluar hanya untuk memberi makan ayam-ayam yang berada di bawah lantai pelupuh. Kemudian dia naik kembali ke kamarnya. Tidak ada satu kata pun yang terucap dari bibir Nun. Seandainya Sanjoehri bisa menawar kepada Tuhannya, maka dia ingin menukar kematian Musri dengan nyawanya. Namun Sanjoehri sadar, mulih ka jati, mulang ka asal—semua yang berasal dari Yang Maha Kuasa, maka akan kembali lagi kepada-Nya.
Malam itu biasanya Sanjoehri menghabiskan bakonya sambil berjaga di depan rumah. Akan tetapi, udara dingin yang menusuk, ditambah lagi nyanyian rintik hujan yang begitu merdu, semua itu membuai Sanjoehri untuk beristirahat sejenak di kamarnya.
“Hundang, Abah![1]” Siti membangunkan suaminya dari mimpi indah. Tubuh wanita itu bergetar. Air matanya terus berurai.
Setelah mendengar isak tangis istrinya, Sanjoehri terperanjat. “Aya naon? Jalma-jalma eta deui?[2]” tanya Sanjoehri sambil mengumpulkan nyawa yang masih berserakan. Dia pikir gerombolan itu mencoba mengobrak-abrik rumahnya.
“Nun …” ujar Siti dengan bibir yang bergetar.
“Kunaon si Nun?[3]” Jantung Sanjoehri mulai berdegup dengan sangat kencang ketika istrinya menyebut nama Nun dengan penuh duka.
“Nun tidak ada di kamarnya,” teriak Siti.
Sanjoehri kemudian berdiri sambil melipat kembali sarungnya. “Meren aya di tampian[4].”
“Euweuh.[5]” Tentu saja Siti sudah mencari anak gadisnya itu di kamar mandi yang terletak beberapa meter di belakang rumah. Nun tidak ada di sana.
“Keur nyoo hayamna, meren.[6]” Nun memang senang sekali menghabiskan waktunya di bawah rumahnya—tempat memelihara ayam.
“Euweuh! Ieu masih subuh! Maenya teuing Nun geus nyoo hayam?[7]” Siti sudah mencari Nun ke seluruh penjuru rumah, termasuk ke bawah rumah panggungnya. Hasilnya nihil. Nun tidak ada di sana.
Barulah Sanjoehri benar-benar terperanjat. Dia lalu berjalan ke ruang tengah sambil membawa damar—lampu yang berisi minyak tanah. Matanya membulat. Jantungnya berdegup dengan sangat kencang. Perasaannya langsung tidak enak.
“Mana bedog?[8]” Sanjoehri mencari golok kesayangannya. Dia memang menyimpan golok itu untuk kondisi seperti ini—saat keluarganya terancam.