Nun Mati

Falcon Publishing
Chapter #1

Nun Mati

Desa Bangbayang,

Februari 1962 Pukul 02.17

Manusia tak berwajah itu semakin lama semakin mendekapnya dalam belenggu kesedihan yang tidak berkesudahan. Wajahnya tidak terlihat, tetapi suara serta tawanya begitu membekas di ingatan. Sukmanya dipenuhi oleh dendam yang membara kepada manusia tak berwajah. Untuk detik ini, ia tidak bisa membiarkan si bangsat itu menghirup udara bebas. Rasanya baru kemarin ia melihat manusia tak berwajah itu mencabut pisau yang berlumuran berdarah dari dada suaminya. Tiga bulan—waktu yang cukup untuknya bangun dari pemakaman yang dibuatnya sendiri. Ia tidak bisa mengubur dirinya kembali.

Selapis cahaya dari lampu minyak yang ditempel di dinding menerangi wajah yang kecantikannya sudah tergerus oleh nestapa menjadi janda di usia muda. Sudah satu jam matanya tak berkedip menatap golok yang disematkan di tembok rumah. Golok pemberian Kiai Ahmad, Kiai tersohor di Desa Bangbayang, menjadi sebuah Nun Mati kebanggaan bagi Sang Kepala Dusun. Namun, bukan itu yang membuat tubuhnya belum beranjak. Ia hanya sedang mengumpulkan seluruh keberanian dan kebenciannya.

Rumah dengan dua kamar itu menjadi saksi tengah malam seorang perempuan yang menyeringai saat menatap bilah golok yang disingkap dari sarung goloknya. Tidak ada yang tahu bagaimana hatinya berkecamuk.

Suaminya kini sudah tiada. Jasadnya sudah tertanam di dalam tanah, tetapi sesuatu yang tersisa di dalam suaminya justru membuatnya terkadang menangis, tertawa, dan kini membuatnya berpikir—mau sampai kapan ia harus berpura-pura mati?

Dadanya kembang kempis. Sudah terlalu muak ia diam dalam kesendirian. Bilah golok dan segunung dendam tentu saja cukup untuk menerkam para bangsat yang menamakan dirinya Darul Islam itu.

Angin menderu dengan gelisah karena sejak tadi malam hujan mengiringi kegamangan perempuan ini. Langit masih gelap tanpa awan. Sayup-sayup terdengar suara ciak ayam yang dipelihara di bawah lantai pelupuh.

Tekadnya sudah kuat. Golok itu disematkan di pinggang, lalu ditalikan dengan seutas kain. Ujung kakinya menari meniti jalan menuju pintu depan. Dadanya berdegup dengan kencang—jangan sampai decit langkahnya di pelupuh terdengar penghuni rumah lainnya. Tangannya gemulai membuka tulak1

Semilir angin malam menyibak rambut yang tergerai. Hanya hitam dan siluet pohon yang dilihat oleh sepasang matanya. Semua akan diterjangnya demi sebuah dendam yang merajam. Tanpa sebilah cahaya, langkah kakinya tak goyah meniti jalan. Tak ada bayang-bayang, hanya langit hitam membentuk pohon jambu dan pohon pisang seperti siluet. Ditapakinya jalan panjang menuju Gunung Syawal. Kakinya melangkah begitu cepat agar segera sampai di tempat yang dituju—yaitu sarang gerombolan.

Daun-daun pohon bambu bergoyang, gemeresiknya seperti genderang perang. Kerikil-kerikil di atas tanah basah menusuk telapak kaki sampai ke uratnya. Kakinya yang telanjang berjalan mengikuti dendam yang membara. Pohon-pohon berdiri seperti raksasa yang siap menerkam.

Sesekali ia terjatuh karena tanah basah setelah semalam diguyur hujan. Itu tak akan menyurutkan niatnya membelah Gunung Syawal. Tanpa pasukan, dengan sebilah golok, dan dendam yang menganyam, perempuan ini tak gentar menyisir hutan, melewati sungai, dan mengarungi jalan setapak.

Gunung Syawal, pukul 02.37

Pohon pisang membentang di sepanjang jalan. Di sisi kirinya, barisan pohon berumpak bagaikan penonton malam. Pandangan matanya masih tajam, walaupun semua tampak satu warna—yaitu menghitam.

Suara air mengganas setelah hujan yang cukup deras. Derap langkah tanpa alas tak sedikit pun gentar. Niatnya tak amblas diterjang oleh dekapan hutan Gunung Syawal yang mulai terlihat tak berbatas. Wanita mana yang berani menjelajahi Gunung Syawal apalagi saat gelap seperti ini. Desas-desus Genderuwo sebagai penunggu hutan tak mampu membuat niatnya hangus.

Semua batang pohon terlihat sama—menatap tajam dirinya yang berjalan lunglai tanpa arah. Ia hanya tahu kalau para gerombolan itu bersembunyi di Gunung Syawal, tanpa tahu di mana titik mereka tinggal sebetulnya. Tanpa goyah, kakinya melangkah naik dengan desah yang terasah.

Lihat selengkapnya