Beberapa jam sebelumnya.
Desa Bangbayang, Pukul 11.56
“Bunuh … bunuh!”
Tatapan tajam itu bukan hanya satu. Seluruh mata menatapnya dengan awas. Tak ada lagi belas, yang ada hanya dendam yang tak culas. Jadi, seperti inilah peperangan. Mata rantai tanpa ujung pangkal. Hutang darah dibalas dengan darah.
“Orang ini adalah bagian dari gerombolan, dia yang menyebabkan banyak saudara kita tewas!” Suara orang itu menggelegar di angkasa layaknya dewa yang sedang murka.
Kepala-kepala terlihat tegak tak seperti biasanya. Tangan-tangan mengepal. Musuh yang sedang ada di hadapannya itu hanya seorang pria ceking. Perut kurusnya tak bisa membuat dendam warga amblas. Terik matahari semakin terasa gersang oleh amarah yang merajang. Ini bukan karena masalah nasi kering yang dicuri oleh pria ceking ini dari seekor ayam. Ini tentang dendam atas tumpahan darah yang terasa sia-sia. Gara-gara isi batok kepala orang ini dan kawan-kawannya, banyak perempuan menjadi janda, anak menjadi yatim, dan orang tua kehilangan anak. Lantas, semua ini memang tentang kehilangan—hilang harta, hilang nyawa, hilang kebebasan, dan hilangnya impian.
Satu tendangan cukup membuat tubuh pria ceking itu terkapar. Rambutnya yang tipis dijambak begitu keras agar pria ini kembali duduk. Satu bogem mentah cukup membuat wajahnya membiru. Ia tak lagi dipandang sebagai manusia. Di mata orang-orang itu, ia hanya seekor nyamuk yang harus ditepuk kencang agar tak membuat gatal.
Tak pernah terpikirkan oleh pria ceking ini kalau niatnya mengais nasi kering akan berakhir seperti ini. Perih di perutnya sudah hilang karena sakitnya dilampaui oleh sakit di tubuhnya. Tulang rusuknya seperti mau patah. Ia terkapar lalu diberdirikan lagi dan ditendang oleh warga.
Desa yang biasanya sunyi harus pecah karena amarah yang membara. Tak ada lagi belas kasihan kepada pria yang katanya kelaparan ini. Sama seperti ketika para gerombolan itu merampas nyawa orang-orang terkasih mereka. Nyawa dibalas dengan nyawa, pekik mereka.
Perempuan berbaris mengelilingi para pria yang tiba-tiba menjadi perkasa, saat musuh hanya satu. Satu orang itu lebih mudah dihadapi dari pada melawan satu kelompok. Inilah kesempatan emas bagi orang-orang yang sudah lelah bersembunyi di balik tirai jendela rumahnya. Bukan hanya orang dewasa, ini menjadi tontonan anak- anak kecil yang selama ini menjadi tidak bisa bebas bermain.
Angin masih bertiup dengan sangat kencang. Matahari mulai naik tepat di atas kepala. Amarah orang-orang yang berkumpul membuat siang semakin gersang. Tinggal sebentar lagi nyawa pria itu mungkin akan berakhir di salah satu tangan warga. Beberapa ibu menutup mata anak-anaknya dari tontonan kekerasan ini.
Satu tendangan berhasil membuat salah satu rusuk pria ceking itu terluka. Pria ceking itu bernama Mardian. Lelaki itu menghela napas dalam-dalam, seolah-olah itu akan menjadi udara terakhirnya. Tentu saja, ia tidak pernah mengharapkan hari ini akan berlangsung tragis seperti ini. Di atas Gunung Syawal, ia hanya seorang cecunguk, yang tidak memiliki posisi penting di antara kawanannya. Pasokan logistik yang semakin menipis membuat Mardian tidak pernah kebagian jatah makan. Itu sebabnya Mardian merayap ke pemukiman desa. Ia sempat berpikir kalau tidak akan ada orang yang mengenalinya.
Rupanya warga desa begitu telik terhadap satu sama lain. Mardian bisa dengan mudah dikenali sebagai anggota gerombolan. Bak kehilangan otaknya, Mardian yang kelaparan itu malah mengakui kalau dia adalah bagian dari gerombolan. Ia terlalu takut dan ketakutannya malah menjadi-jadi.
Dalam sekejap, puluhan warga datang berkerumun. Gemuruh marah, kesal, dan benci begitu menyeruak mengelilingi Mardian yang mulai lemah. Bukan karena Mardian mencuri nasi kering dari ayam, tetapi pengakuan Mardian tentang gerombolan justru memantik kekesalan warga.
Kemudian, seseorang menelisik masuk mengurai lautan manusia yang mendadak menjadi berani. “Tunggu! Kalian tidak bisa begitu saja menghakiminya!” Kedua tangannya membentang kerumunan. Tubuhnya, yang tinggi dan berotot, berdiri tegak menjadi peneduh bagi Mardian yang hanya bisa duduk jongkok sambil tertunduk.
“Jangan membelanya! Kamu tidak tahu rasanya kehilangan!” Teriakan itu justru menyayat hati Mim. Tentu saja Mim tahu arti kehilangan, hanya saja ia merasa tak jera.
Para warga masih berdiri dengan sikap siaga. Sejarah pertumpahan darah membuat mereka berharap kalau pria ceking itu bisa disembelih menggantikan nyawa orang-orang yang tewas oleh gerombolan.
Mim tidak menjawab apa pun. Badannya berbalik menghadap Mardian. Lalu, tangannya terlempar ke depan tepat di wajah Mardian. “Ayo, kita pergi dari sini!”