Langit di luar memanggang kota dengan semangat empat lima khas khatulistiwa di tengah hari bolong. Di dalam Masjid Al-Ikhlas, atau lebih tepatnya di aula serbagunanya yang pengap dan penuh sesak, suasananya tak kalah panas. Bukan cuma karena puluhan kipas angin gantung yang berputar lesu seolah ikut pasrah pada takdir, tapi juga karena topik yang sedang membara dari mimbar sederhana di depan sana. Alex, terperangkap di barisan tengah, merasakan keringat mulai membasahi kerah kemeja koko warna biru langitnya yang ironisnya sama sekali tidak mencerminkan suasana hatinya saat ini.
Di atas mimbar itu, Ustaz Rahmatullah Karim, atau yang lebih akrab disapa jamaah dengan panggilan kesayangan—atau mungkin lebih tepatnya, panggilan karena sudah terbiasa—Ustaz Kaku, sedang berapi-api. Suaranya yang berat dan sengau menggema, memantul dari dinding-dinding keramik putih kusam, kadang pecah karena kualitas mikrofon yang seadanya. Usianya mungkin baru kepala lima, tapi gurat-gurat di wajahnya dan sorot matanya yang selalu tampak menghakimi membuatnya terlihat lebih tua, lebih lelah, atau mungkin lebih… menyeramkan? Alex tidak yakin mana kata yang paling pas.
“Jadi, Saudara-saudara sekalian!” suara Ustaz Kaku meninggi, menunjuk entah ke arah mana dengan telunjuk kanannya yang kurus. “Jangan kalian pikir, hanya karena di dunia ini kalian bisa bersenang-senang, lantas di akhirat kalian akan lolos dari pengadilan Allah! Oh, tidak semudah itu, Ferguso!”
Alex mengernyit dalam hati. Ferguso? Sejak kapan Ustaz Kaku update sama meme beginian? Tapi kernyitan itu cepat tergantikan oleh rasa mulas yang mulai akrab setiap kali ia terpaksa—ya, terpaksa, karena ayah dan ibunya sering menitipkannya untuk urusan pengajian rutin komplek ini—menghadiri majelis Ustaz Kaku.
“Setiap helaan napas kalian dihitung! Setiap kedipan mata kalian dicatat! Kalian pikir, meninggalkan shalat itu perkara sepele? Hah?! Di neraka Jahannam nanti, kulit kalian akan diganti dengan kulit yang baru setiap kali hangus terbakar, agar kalian merasakan azab yang tiada henti! Kalian sanggup? Sanggup kalian?!” Ustaz Kaku sedikit membungkuk, matanya melotot seolah mencari siapa di antara jamaah yang berani menyanggupi.
Beberapa bapak-bapak di barisan depan mengangguk khidmat sambil berucap lirih, “Astaghfirullah… Nauzubillah…” Ibu-ibu di balik hijab pembatas terdengar saling berbisik, mungkin juga sama-sama merinding. Tapi Alex? Alex justru merasakan sesuatu yang lain. Bukan takut, bukan juga gentar. Lebih ke… jengah. Muak. Dan sedikit rasa kasihan, entah untuk siapa. Untuk dirinya sendiri yang terjebak di sini? Atau untuk Tuhan yang digambarkan begitu bengis dan pendendam oleh Ustaz Kaku?
Selalu begini, batin Alex. Neraka, siksa, azab. Apa tidak ada topik lain yang lebih menyejukkan? Yang bikin semangat ibadah karena cinta, bukan karena takut disetrika malaikat?
Ini bukan kali pertama Alex merasakan pergolakan batin semacam ini. Sejak ia mulai bisa berpikir kritis di bangku SMA, pertanyaan-pertanyaan itu mulai menyeruak. Kenapa Tuhan yang katanya Maha Pengasih dan Penyayang lebih sering diceritakan sebagai Maha Penghukum? Kenapa agama yang katanya membawa rahmat bagi seluruh alam lebih sering terdengar seperti kumpulan larangan dan ancaman?
“Dan kalian para wanita!” Ustaz Kaku kini mengalihkan pandangannya ke arah hijab pembatas. “Jaga aurat kalian! Sehelai rambut yang terlihat, seretannya tujuh puluh ribu tahun di neraka! Kalian mau jadi bahan bakar neraka karena pamer rambut? Kalian mau ayah dan suami kalian ikut terseret karena ulah kalian yang tidak mau diatur?!”
Alex bisa membayangkan para ibu dan perempuan yang duduk di bagian akhwat, mungkin sedang menunduk lebih dalam. Ada yang mungkin akan semakin paranoid kalau soal jilbab yang kadang sedikit miring kalau habis naik ojek. Mbak-mbak lainnya? Ah, mungkin ada yang sedang sibuk menggambar doodle di buku catatannya, pura-pura mencatat padahal pikirannya sudah sampai ke konser K-Pop impiannya. Mereka punya cara masing-masing untuk melarikan diri. Alex? Caranya melarikan diri adalah dengan mempertanyakan segalanya dalam diam.
Pikiran Alex melayang. Dulu, waktu kecil, ia selalu antusias ikut pengajian. Cerita nabi-nabi, kisah sahabat yang heroik, janji surga dengan sungai susu dan madu. Semuanya terasa indah, ajaib, dan penuh harapan. Tapi semakin dewasa, narasi yang ia dapatkan, terutama dari figur seperti Ustaz Kaku, semakin sempit dan menakutkan. Seolah-olah inti dari beragama adalah menghindari cambuk Tuhan.
“Islam itu mudah, jangan dipersulit,” begitu kata sebuah hadis yang pernah ia baca sekilas di sebuah artikel online. Tapi yang ia rasakan justru sebaliknya. Semuanya terasa sulit, berat, dan penuh konsekuensi mengerikan jika salah langkah sedikit saja. Tidak ada ruang untuk bertanya “mengapa begini?” atau “bagaimana jika begitu?”. Jawabannya selalu template: “Sudah dari sananya begitu! Jangan banyak tanya, nanti sesat! Imani saja!”
Iman? Iman yang mana? Alex bertanya dalam hati. Iman yang membabi buta? Iman yang menumpulkan akal sehat? Bukankah Tuhan sendiri yang memberi manusia akal untuk berpikir?
Ustaz Kaku melanjutkan ceramahnya, kini beralih ke masalah riba, lalu sedikit menyenggol soal politik terkini dengan bumbu teori konspirasi, sebelum akhirnya kembali ke “menu utama”: dosa-dosa spesifik dan detail visualisasinya di neraka. Ada dosa gibah yang ganjarannya memakan bangkai saudara sendiri, dosa para pezina yang akan diceburkan ke lautan nanah, dan tentu saja, dosa anak durhaka yang … ah, Alex sudah tidak sanggup lagi mendengarkan detailnya.