Ia teringat beberapa tahun lalu, saat ia masih lebih muda dan sedikit lebih naif, ia pernah mencoba bertanya pada salah satu guru ngaji di TPA-nya dulu, pertanyaan sederhana tentang mengapa babi diharamkan. Jawabannya singkat, "Karena Allah melarang. Titik." Ketika Alex kecil mencoba mengejar, "Tapi kenapa ya, Bu, Allah melarangnya? Apa ada alasan kesehatannya atau gimana?" Ibu guru itu tersenyum tipis, senyum yang tidak mencapai matanya, "Sudahlah, Nak. Yang penting kita taat. Pahala itu datang dari ketaatan, bukan dari banyak bertanya."
Sejak saat itu, Alex belajar untuk memendam pertanyaannya. Bukan karena ia puas dengan jawaban tersebut, tapi karena ia menyadari bahwa ruang untuk bertanya seringkali tidak disediakan. Pertanyaan dianggap sebagai tanda keraguan, dan keraguan dianggap sebagai awal dari kesesatan. Sebuah logika melingkar yang menyesakkan.
Ponsel di sakunya bergetar pelan. Mungkin balasan dari Nur-AI. Sebagian dirinya merasa gugup, sebagian lagi penasaran setengah mati. Ia menepikan motornya di bawah rindang pohon angsana di tepi jalan yang sedikit sepi, tak jauh dari sebuah warung kopi sederhana yang menebarkan aroma robusta yang pekat.
Sambil membuka kembali aplikasi atau laman Nur-AI itu, pikirannya kembali pada Ustaz Kaku. Sebenarnya, Alex tidak sepenuhnya membenci Ustaz Kaku sebagai pribadi. Di luar mimbar, saat acara syukuran atau kerja bakti komplek, Ustaz Kaku bisa jadi sosok yang ramah, bahkan humoris dengan caranya sendiri. Tapi begitu mikrofon ada di tangannya, seolah ada saklar yang bergeser. Pribadi yang tadinya mungkin hangat berubah menjadi corong penghakiman, duta besar neraka yang bertugas memastikan semua orang tahu betapa mengerikannya tempat itu.
Apakah beliau benar-benar percaya seratus persen dengan setiap kata yang diucapkannya? Atau itu hanya persona yang ia rasa harus ia tampilkan agar dianggap berwibawa sebagai seorang ustaz?
Pertanyaan itu lagi-lagi muncul. Alex menduga, mungkin ada campuran keduanya. Keyakinan yang tulus, tetapi dibungkus dengan metode penyampaian yang usang dan kontraproduktif, setidaknya untuk generasi seperti Alex yang tumbuh besar dengan akses informasi tak terbatas dari internet. Generasi yang terbiasa membandingkan, menganalisis, dan mencari "why" di balik setiap "what".
Ceramah tadi, misalnya, ketika Ustaz Kaku berkoar tentang "bahaya pemikiran liberal". Alex jadi teringat artikel yang pernah ia baca tentang sejarah peradaban Islam, tentang masa keemasan ketika para ilmuwan Muslim justru begitu terbuka dengan ilmu pengetahuan dari Yunani, Persia, India. Mereka tidak takut bertanya, tidak takut berdebat, tidak takut menguji hipotesis. Hasilnya? Lahirlah Al-Khawarizmi, Ibnu Sina, Al-Biruni, dan sederet nama besar lainnya yang kontribusinya pada sains dan filsafat diakui dunia hingga kini.