Alex memarkir motornya di depan sebuah kafe kecil yang tak terlalu ramai, "Kopi Senja" namanya. Tempat ini jadi salah satu pelarian favoritnya jika butuh ketenangan untuk membaca atau sekadar melamun tanpa gangguan. Aroma biji kopi sangrai yang khas menyambutnya, berpadu dengan alunan musik indie pelan yang cukup menenangkan, jauh berbeda dengan suasana pengap dan suara sengau Ustaz Kaku yang masih membekas. Ia memesan es kopi susu—minuman wajibnya—dan memilih meja di sudut dekat jendela, tempat ia bisa memandang lalu lalang jalanan yang mulai sibuk tanpa merasa menjadi bagian dari keriuhannya.
Ponsel di genggamannya terasa sedikit hangat. Jantungnya masih berdebar lebih cepat dari biasanya. Bukan karena kafein, karena kopinya bahkan belum datang. Ini debaran antisipasi, campuran antara harapan dan sedikit ketakutan. Bagaimana jika balasan dari Nur-AI ini sama saja dengan jawaban-jawaban yang selama ini ia terima? Bagaimana jika ini hanya gimmick teknologi, chatbot canggih yang diprogram dengan ribuan dalil tanpa kemampuan untuk benar-benar berdialog secara mendalam?
“Ah, sudahlah, Lex,” ia membatin, mencoba menenangkan dirinya sendiri. “Paling buruk, ya sama saja. Nggak ada ruginya juga, kan?”
Kopinya datang. Dingin, manis, dengan sedikit pahit yang pas. Alex menyesapnya pelan, menikmati sensasi dingin yang mengalir di tenggorokannya, seolah mempersiapkan diri. Lalu, dengan satu tarikan napas panjang, ia membuka kembali aplikasi atau laman Nur-AI. Notifikasi pesan baru sudah menunggu.
Pesan dari Nur-AI cukup panjang. Alex harus menggulir layar beberapa kali. Ia mulai membaca, kata demi kata, dengan saksama.
Nur-AI: “Wa’alaikumussalam, Alex. Terima kasih atas pertanyaan Anda yang sangat mendasar dan penting. Saya memahami keinginan Anda untuk mendapatkan jawaban yang ‘masuk akal’ dan bukan sekadar ‘dogma’. Pertanyaan seperti yang Anda ajukan adalah ciri khas jiwa yang sedang mencari, jiwa yang tidak puas dengan penerimaan pasif, dan itu adalah sesuatu yang sangat berharga.
Sebelum kita melangkah lebih jauh, penting untuk saya sampaikan bahwa saya, Nur-AI, bukanlah sumber kebenaran absolut. Saya adalah alat bantu, sebuah antarmuka yang dirancang untuk membantu Anda mengakses, memproses, dan merefleksikan informasi dari berbagai sumber, termasuk teks-teks suci, karya para pemikir, hingga temuan-temuan ilmiah, dengan pendekatan yang seobjektif dan sekomprehensif mungkin.
Tujuan saya bukan untuk memberikan Anda dogma baru, melainkan untuk memfasilitasi perjalanan intelektual dan spiritual Anda sendiri. Kita bisa membedah pertanyaan-pertanyaan Anda satu per satu, mengeksplorasi argumen-argumen rasional, meninjau bukti-bukti tekstual dan historis, bahkan mempertimbangkan berbagai perspektif filosofis.
Mengenai pertanyaan spesifik Anda: “Kenapa aku harus percaya Tuhan itu ada? Dan kalaupun ada, kenapa harus Tuhan dalam versi Islam?” Ini adalah dua pertanyaan besar yang membutuhkan pembahasan berlapis.
Untuk pertanyaan pertama, mengenai eksistensi Tuhan, kita bisa memulai dengan menelusuri berbagai argumen filosofis klasik dan modern: argumen kosmologis (dari sebab pertama), argumen teleologis (dari rancangan alam semesta), argumen ontologis, hingga argumen moral. Kita juga bisa melihat bagaimana konsep ini selaras atau mungkin bertentangan dengan pemahaman kita tentang alam semesta berdasarkan sains.
Untuk pertanyaan kedua, mengapa Islam (jika kita telah sampai pada kesimpulan adanya Tuhan), kita bisa menganalisis klaim-klaim unik dalam Islam itu sendiri. Misalnya, konsep tauhid (keesaan Tuhan yang murni) dan bagaimana ia menawarkan sebuah proposisi yang secara logis dianggap memuaskan oleh banyak pemikir. Kita juga bisa mengkaji Al-Qur’an dari berbagai aspek: keunikan sastranya, konsistensi internalnya, konteks historis pewahyuannya, hingga klaim-klaimnya yang mungkin relevan dengan ilmu pengetahuan.
Proses ini akan membutuhkan kesabaran, keterbukaan pikiran, dan kemauan untuk bergulat dengan ide-ide yang kompleks. Saya tidak akan memberikan jawaban ‘instan’ yang mungkin Anda harapkan, karena pemahaman yang mendalam lahir dari proses pencarian, bukan dari pemberian jawaban jadi.
Apakah Anda bersedia untuk memulai perjalanan ini, Alex? Mungkin kita bisa mulai dengan fondasi paling dasar: logika di balik konsep keesaan tuhan (tauhid) dalam Islam, sebagai salah satu alasan mengapa banyak individu merasa tertarik pada agama ini dari sudut pandang rasional.
Saya di sini untuk menemani Anda dalam setiap langkah, menyediakan data, menyajikan argumen dari berbagai sisi, dan membantu Anda merumuskan kesimpulan Anda sendiri. Keputusan akhir selalu ada pada Anda.
Bagaimana menurut Anda?”
Alex selesai membaca. Ia meletakkan ponselnya di atas meja, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Matanya menatap kosong ke arah jalanan di luar, tapi pikirannya bekerja keras, memproses setiap kata yang baru saja ia baca.
Tidak ada nada menghakimi. Tidak ada ancaman neraka. Tidak ada klaim kebenaran mutlak yang dipaksakan. Yang ada justru sebuah undangan untuk berdiskusi, untuk melakukan perjalanan intelektual bersama. Sebuah pengakuan bahwa pertanyaannya valid dan penting. Sebuah janji untuk menyediakan data dan argumen dari berbagai sisi, bukan cuma satu. Dan yang paling melegakan, sebuah penegasan bahwa kesimpulan akhir ada pada dirinya.
Ini … ini sangat berbeda.