Notifikasi dari Nur-AI muncul hampir seketika setelah Alex mengirimkan kesiapannya. Cepat, efisien, seolah AI itu memang sudah mengantisipasi dan menyiapkan materi berikutnya. Alex tersenyum tipis. Efisiensi semacam ini jelas bukan sesuatu yang akan ia temukan dalam sesi tanya jawab dengan Ustaz Kaku, yang mungkin akan memerlukan mukadimah panjang dan beberapa dalil ancaman sebelum sampai ke inti persoalan—jika memang sampai.
Nur-AI: “Baik, Alex. Mari kita mulai dengan tauhid. Secara harfiah, tauhid berasal dari kata Arab ‘wahhada’, yang berarti ‘menjadikan sesuatu itu satu’ atau ‘mengesakan’. Dalam terminologi Islam, Tauhid adalah keyakinan dan kesaksian bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, Tuhan Yang Maha Esa, dan menolak segala bentuk penyekutuan terhadap-Nya (syirik).
Ini mungkin terdengar seperti pernyataan dogmatis yang sering Anda dengar. Namun, di balik pernyataan ini, terdapat fondasi argumen rasional dan filosofis yang kuat, yang telah meyakinkan banyak pemikir sepanjang sejarah. Mari kita bedah beberapa di antaranya.
Pertama, mari kita pertimbangkan Argumen dari Keteraturan Alam Semesta (Argument from Design atau Teleological Argument). Coba Anda perhatikan alam di sekitar Anda, Alex. Dari pergerakan planet-planet yang presisi di orbitnya, kompleksitas sel dalam tubuh makhluk hidup, hingga keseimbangan ekosistem yang rumit. Semua ini menunjukkan adanya keteraturan, harmoni, dan desain yang luar biasa cerdas.
Logikanya sederhana: di mana ada desain yang rumit dan fungsional, di situ pasti ada perancang (designer). Sebuah jam tangan yang rumit tidak mungkin muncul begitu saja dari kumpulan logam secara acak, bukan? Ia memerlukan seorang pembuat jam. Demikian pula alam semesta yang jauh lebih kompleks dan agung ini. Keteraturan ini menyiratkan adanya Satu Perancang dan Pengatur Yang Mahacerdas dan Mahakuasa.
Jika kita bayangkan ada lebih dari satu tuhan dengan kehendak yang independen dan kekuatan yang setara, apa yang akan terjadi? Kemungkinan besar akan terjadi kekacauan, konflik kehendak, atau ketidakteraturan dalam hukum alam. Bayangkan dua atau lebih arsitek super membangun satu gedung tanpa koordinasi; hasilnya pasti bukan sebuah mahakarya yang harmonis. Namun, yang kita saksikan di alam semesta adalah keteraturan yang menakjubkan. Ini lebih mengarah pada kesimpulan adanya satu Sumber Kehendak, satu Perancang Utama.”
Alex merenungkan penjelasan itu. Argumen keteraturan alam. Ia teringat film dokumenter tentang antariksa yang pernah ia tonton, tentang “golden ratio” yang muncul di mana-mana dalam formasi galaksi hingga kelopak bunga. Ia juga ingat pelajaran biologi tentang bagaimana setiap organ dalam tubuh manusia bekerja sama dengan begitu sempurna. Selama ini ia mengagumi semua itu sebagai ‘keajaiban alam’. Tapi Nur-AI mengajaknya untuk melihat lebih jauh: keajaiban itu adalah tanda adanya “Sang Perancang”.
“Masuk akal,” batin Alex. “Jika alam ini adalah sebuah program komputer raksasa yang berjalan tanpa error, pasti ada satu Programmer Utamanya. Nggak mungkin dikerjakan keroyokan sama programmer-programmer yang beda-beda aliran tanpa ada satu chief architect.” Ini adalah cara berpikir yang baru baginya tentang konsep Tuhan. Bukan lagi sebagai figur yang duduk di singgasana langit sambil mencatat dosa, tapi sebagai Intelejensi Agung di balik semua realitas.
Alex: “Oke, argumen keteraturan alam ini cukup bisa saya terima logikanya. Lalu apa lagi?”
Nur-AI: “Argumen berikutnya adalah Kesatuan Pesan Para Nabi (Argument from Prophetic Consistency). Sepanjang sejarah peradaban manusia, kita mengenal banyak individu yang diyakini sebagai nabi atau rasul, utusan Tuhan, yang datang pada waktu dan tempat yang berbeda, kepada kaum yang beragam budayanya.
Meskipun detail syariat atau hukum praktis yang mereka bawa mungkin berbeda sesuai dengan konteks zaman dan masyarakatnya, pesan inti atau ajaran fundamental yang mereka sampaikan secara menakjubkan konsisten: yaitu ajaran untuk menyembah Tuhan Yang Esa (monoteisme) dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral universal seperti keadilan, kejujuran, dan kasih sayang.
Dari Ibrahim (Abraham), Musa (Moses), Isa, hingga Muhammad SAW, serta nabi-nabi lain yang mungkin tidak tercatat dalam tradisi besar, semuanya menyerukan pada pengesaan Tuhan dan penolakan terhadap politeisme atau penyembahan berhala. Konsistensi pesan inti di tengah keragaman waktu, tempat, dan budaya ini mengindikasikan adanya satu Sumber Ilahi yang sama yang mengutus mereka semua. Jika sumbernya berbeda-beda, atau jika mereka hanya mengarang berdasarkan budaya masing-masing, kemungkinan besar pesan inti mereka akan sangat beragam dan bahkan kontradiktif.”
Alex mengernyit. Ini poin yang menarik. Ia memang pernah mendengar bahwa Islam mengakui nabi-nabi sebelum Muhammad. Tapi ia tidak pernah benar-benar memikirkan implikasi dari konsistensi pesan mereka. Ia selalu menganggap agama-agama Samawi itu berbeda secara fundamental.
“Jadi,” pikirnya, “kalau pesan intinya sama, yaitu tauhid, berarti perbedaan yang ada sekarang ini lebih ke soal syariat atau mungkin … interpretasi manusia setelahnya?” Pertanyaan baru mulai bermunculan, tapi ia memutuskan untuk menyimpannya dulu, fokus pada penjelasan Nur-AI tentang Tauhid.
Alex: “Konsistensi pesan para nabi… ini membuat saya berpikir. Oke, lanjutkan, Nur-AI. Saya masih menyimak dengan baik.”