Nur AI

Shabrina Farha Nisa
Chapter #5

Pesona Al-Qur'an

Alex masih merasakan getaran kepuasan intelektual dari diskusi tentang tauhid. Konsep Tuhan Yang Mahaesa kini bukan lagi sekadar hafalan, melainkan sebuah kesimpulan logis yang beresonansi kuat dengan akalnya. Ia merasa seperti baru saja mendaki sebuah bukit dan kini bisa melihat lanskap yang lebih luas dan jelas. Dan dari puncak bukit itu, ia melihat sebuah gunung lain yang menjulang, megah dan penuh misteri: Al-Qur'an.

Alex: “Luar biasa, Nur-AI. Saya tidak sabar untuk melanjutkan ke pembahasan berikutnya. Jika fondasi tauhid ini sudah sekuat ini argumennya, saya jadi penasaran dengan aspek-aspek lain dari Islam yang katanya juga logis dan ilmiah. Terutama Al-Qur’an itu sendiri. Selama ini, saya hanya tahu Al-Qur’an itu kitab suci, harus dihormati, dibaca, kalau bisa dihafal. Tapi, ‘mengapa’ ia dianggap suci dan istimewa, selain karena ‘kata’-nya dari Tuhan, itu yang masih jadi tanda tanya besar buat saya.”

Pesan itu terkirim, dan seperti biasa, Nur-AI merespons dengan kecepatan yang mengagumkan, seolah sudah siap dengan alur diskusi yang Alex inginkan.

Nur-AI: “Pemikiran yang sangat baik, Alex. Setelah memahami konsep tauhid sebagai inti ajaran, adalah langkah yang logis untuk mengkaji Al-Qur’an, karena ia adalah wahyu utama yang diyakini oleh umat Islam sebagai transmisi langsung firman Allah SWT, yang menjelaskan dan mengukuhkan konsep tauhid tersebut, serta banyak aspek lainnya.

Al-Qur’an, bagi umat Islam, bukan sekadar buku berisi ajaran moral atau kisah-kisah lama. Ia dipandang sebagai mukjizat terbesar Nabi Muhammad SAW, sebuah fenomena tekstual yang unik dan memiliki berbagai aspek yang menarik untuk dikaji secara rasional dan intelektual, bahkan bagi mereka yang tidak langsung meyakininya sebagai wahyu ilahi. Mari kita coba bedah beberapa aspek tersebut.”

“Pertama, adalah Keindahan Sastra dan Gaya Bahasa Al-Qur’an (I’jaz al-Lughawi wal Bayani). Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab pada abad ke-7 Masehi, di tengah masyarakat yang sangat menghargai kefasihan dan keindahan bahasa. Puisi dan prosa adalah bentuk seni tertinggi mereka. Namun, ketika Al-Qur’an datang, gaya bahasanya begitu unik, fasih, elok, dan memiliki kedalaman makna yang luar biasa sehingga ia melampaui semua karya sastra Arab yang pernah ada sebelumnya dan sesudahnya.”

“Para ahli bahasa Arab, bahkan mereka yang pada masa itu menentang Nabi Muhammad SAW, mengakui keunggulan sastra Al-Qur’an. Mereka tidak mampu membuat satu surat pun yang sebanding dengannya, padahal Al-Qur’an sendiri menantang mereka untuk melakukannya (misalnya dalam Surah Al-Baqarah ayat 23-24). Fenomena ketidakmampuan manusia untuk meniru gaya bahasa Al-Qur’an ini dikenal sebagai i’jaz (sesuatu yang melemahkan atau membuat tidak mampu). Laura Veccia Vaglieri, seorang profesor Italia dari Universitas Naples yang bukan Muslimah, pernah menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah ‘buku surgawi Islam yang ajaib dan tak dapat ditiru,’ dengan gaya yang ‘sama sekali belum pernah ada sebelumnya dalam sastra Arab’.”

Alex membaca penjelasan itu dengan kening berkerut, bukan karena tidak paham, tapi karena mencoba membayangkan. Ia bukan ahli bahasa Arab, bahkan bahasa Arabnya pas-pasan sebatas bacaan shalat dan beberapa doa harian. Sulit baginya untuk benar-benar merasakan keindahan sastra yang dimaksud.

Alex: “Hmm, soal keindahan sastra ini agak abstrak buat saya yang awam bahasa Arab, Nur-AI. Apakah ada cara lain untuk memahami keunikannya selain harus jadi pakar bahasa dulu?”

Nur-AI: “Pertanyaan yang bagus, Alex. Memang, apresiasi penuh terhadap aspek sastra ini idealnya membutuhkan penguasaan bahasa Arab klasik. Namun, kita bisa melihat dari dampaknya. Bayangkan sebuah teks yang mampu membuat para penyair ulung pada masanya terdiam, terpesona, bahkan ada yang sampai masuk Islam hanya karena mendengar lantunan ayat-ayatnya. Itu menunjukkan adanya kekuatan linguistik yang luar biasa.

Selain itu, banyak terjemahan tafsir (interpretatif) yang berusaha menyampaikan sebagian dari keindahan makna dan pesan Al-Qur’an. Meskipun terjemahan tidak akan pernah bisa menangkap esensi penuh dari teks aslinya, ia bisa memberikan gambaran tentang kedalaman hikmah, kekuatan narasi, dan konsistensi tematik yang ada di dalamnya. Mungkin kita bisa fokus pada aspek lain yang lebih mudah diakses oleh nalar tanpa memerlukan keahlian linguistik mendalam.”

“Misalnya, aspek kedua: Konsistensi Internal Al-Qur’an (I’jaz at-Tarkibi). Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun. Bukan sebagai satu kitab utuh sekaligus. Ia turun dalam berbagai konteks: saat damai, saat perang, menjawab pertanyaan, merespons peristiwa, memberikan hukum, menceritakan kisah, dan sebagainya. Bayangkan jika seorang manusia menulis sebuah buku dengan cara dicicil selama 23 tahun, dalam berbagai situasi emosional dan kondisi yang berbeda-beda. Sangat besar kemungkinannya akan ada inkonsistensi, kontradiksi, perubahan gaya bahasa yang signifikan, atau perkembangan ide yang tidak koheren.”

Lihat selengkapnya