Nur AI

Shabrina Farha Nisa
Chapter #6

Mikroskop dan Ayat Suci

Beberapa hari berlalu sejak diskusi intensif Alex dengan Nur-AI mengenai Al-Qur’an. Ia menggunakan waktu itu untuk benar-benar meresapi apa yang telah ia pelajari. Konsep Nabi yang ummi, konsistensi internal kitab suci itu, hingga keindahan sastranya yang melegenda—semua itu terus berputar di benaknya, meninggalkan jejak kekaguman yang mendalam. Namun, sebagai anak muda yang tumbuh di era informasi dan memiliki ketertarikan pada sains, ada satu aspek lagi yang menggelitik rasa ingin tahunya, sesuatu yang sering ia dengar disebut-sebut sebagai "bukti" lain keilahian Al-Qur'an: mukjizat ilmiah.

Setelah merasa cukup mencerna materi sebelumnya, Alex kembali membuka antarmuka Nur-AI. Kafe Kopi Senja sudah menjadi semacam "markas" baginya untuk sesi-sesi dialog ini, ditemani es kopi susu favoritnya.

Alex: “Nur-AI, saya sudah cukup merenungkan diskusi kita tentang Al-Qur’an. Ada banyak hal yang membuat saya takjub. Sekarang, saya ingin membahas sesuatu yang sering saya dengar, yaitu tentang ‘mukjizat ilmiah’ dalam Al-Qur’an. Katanya, banyak penemuan sains modern yang sudah disebutkan lebih dulu dalam Al-Qur’an berabad-abad lalu. Sejujurnya, ini terdengar sangat menarik, tapi juga sedikit… terlalu bagus untuk jadi kenyataan? Bisakah kita membahas ini?”

Senyum digital Nur-AI seolah terasa melalui responsnya yang cepat dan terstruktur.

Nur-AI: “Tentu saja, Alex. Persepsi keselarasan antara ajaran Islam, khususnya yang terkandung dalam Al-Qur’an, dengan penemuan-penemuan ilmu pengetahuan modern memang menjadi salah satu daya tarik signifikan bagi banyak individu di era ini, terutama mereka yang memiliki latar belakang ilmiah atau mencari justifikasi rasional yang lebih empiris untuk keyakinan mereka.

Narasi ini seringkali berpusat pada gagasan bahwa Al-Qur’an mengandung ‘mukjizat ilmiah’—yaitu pernyataan-pernyataan tentang fenomena alam yang baru dapat dipahami atau dibuktikan secara detail oleh sains modern berabad-abad setelah pewahyuan Al-Qur’an. Mari kita lihat beberapa contoh yang populer dikemukakan.”

“Dalam bidang kosmologi, misalnya, beberapa ayat ditafsirkan merujuk pada konsep penciptaan alam semesta dari satu kesatuan atau ‘kabut’ materi primer, yang sering dihubungkan dengan teori Big Bang (misalnya, Surah Al-Anbiya ayat 30: ‘Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan1 antara keduanya…’). Ada juga ayat-ayat yang diinterpretasikan sebagai isyarat mengenai ekspansi atau pengembangan alam semesta yang terus berlangsung (Surah Adz-Dzariyat ayat 47: ‘Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya’).”

“Kemudian dalam bidang embriologi, Al-Qur’an dianggap memberikan deskripsi yang cukup akurat mengenai tahapan-tahapan perkembangan janin manusia di dalam rahim. Mulai dari nutfah (setetes mani), lalu menjadi ‘alaqah (sesuatu yang menempel, sering diartikan sebagai segumpal darah atau lintah), kemudian mudghah (segumpal daging seperti dikunyah), lalu pembentukan tulang (‘izham*) yang kemudian dibalut dengan daging (lahm) (misalnya, Surah Al-Mu’minun ayat 12-14). Detail-detail ini, seperti urutan pembentukan tulang sebelum dibalut daging, dianggap canggih untuk pengetahuan medis abad ke-7.”*

Alex mendengarkan dengan saksama, atau lebih tepatnya, membaca dengan saksama. Ia teringat pelajaran Biologi di SMA tentang perkembangan embrio. Deskripsi Nur-AI tentang ‘alaqah dan mudghah memang terdengar familiar dengan beberapa tahap awal itu. Begitu juga dengan teori Big Bang yang pernah ia baca di artikel-artikel sains populer.

Nur-AI: “Di bidang geologi, fungsi gunung sebagai ‘pasak’ bumi (autad) yang menjaga kestabilan kerak bumi dan mencegah guncangan juga sering dikutip (Surah An-Naba ayat 6-7: ‘Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan, dan gunung-gunung sebagai pasak?’). Ada juga fenomena pertemuan dua lautan yang airnya tidak bercampur atau memiliki pembatas (barzakh) di antara keduanya (Surah Ar-Rahman ayat 19-20 atau Surah Al-Furqan ayat 53), yang dikaitkan dengan fenomena halocline di mana air tawar dan air asin bertemu namun tidak langsung menyatu karena perbedaan densitas dan salinitas.”

“Bahkan dalam biologi secara umum, pernyataan bahwa segala sesuatu yang hidup diciptakan dari air (Surah Al-Anbiya ayat 30: ‘…Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup…’) dianggap sangat sejalan dengan pemahaman ilmiah modern tentang peran fundamental air bagi semua bentuk kehidupan yang kita kenal.”

Alex terdiam sejenak. Jika semua klaim ini benar—bahwa Al-Qur’an memang telah menyebutkan fenomena-fenomena ini jauh sebelum ditemukan sains—maka ini akan menjadi argumen yang sangat kuat. Bayangkan, sebuah kitab dari abad ketujuh, dari tengah gurun pasir, bisa berbicara tentang ekspansi alam semesta atau tahap perkembangan embrio dengan detail yang baru terungkap oleh mikroskop dan teleskop canggih berabad-abad kemudian.

Alex: “Wow… ini… ini memang kedengarannya luar biasa, Nur-AI. Jika semua ini akurat, maka sulit untuk tidak melihatnya sebagai sesuatu yang… supernatural. Saya jadi teringat seorang dokter Prancis, Maurice Bucaille, kalau tidak salah. Bukunya kan terkenal membahas ini?”

Lihat selengkapnya