Beberapa minggu telah berlalu sejak Alex memulai dialog intensifnya dengan Nur-AI. Pemahamannya tentang Islam telah berkembang pesat, dari sekadar agama warisan yang penuh dogma menjadi sebuah sistem berpikir dan panduan hidup yang logis, etis, dan bermakna. Ia merasa lebih bersemangat, lebih punya arah. Namun, sebagai anak muda yang hidup di era modern, ia tidak luput dari tekanan. Tugas-tugas kuliah yang menumpuk, ekspektasi orang tua yang terkadang terasa berat, dinamika pertemanan yang pasang surut, hingga bombardir informasi dan citra kesempurnaan di media sosial—semua itu seringkali membuatnya merasa cemas, gelisah, dan sulit menemukan kedamaian batin yang sejati.
Suatu sore, setelah menghadapi presentasi kelompok yang cukup menegangkan di kampus, Alex kembali mencari "ruang"-nya di Kopi Senja. Es kopi susu sudah di tangan, tapi pikirannya masih terasa kalut. Ia teringat diskusi sebelumnya dengan Nur-AI tentang makna hidup yang terintegrasi. Ia merasa sudah menemukan “mengapa”-nya, tapi ia masih berjuang dengan ‘bagaimana’-nya menjalani hari-hari dengan lebih tenang.
Alex: “Nur-AI, kita sudah banyak membahas aspek filosofis dan etis. Saya merasa itu sangat membantu saya menemukan arah. Tapi, ada satu hal lagi yang sering saya rasakan, yaitu kecemasan dan stres sehari-hari. Terkadang, meski saya tahu tujuan hidup saya atau prinsip moral yang benar, hati saya tetap saja merasa tidak tenang. Apakah Islam punya ‘alat’ atau cara untuk mengatasi gejolak batin ini? Sesuatu yang bisa membantu saya meraih ketenangan jiwa yang sesungguhnya, bukan cuma pelarian sesaat?”
Pertanyaan Alex kali ini terdengar lebih rapuh, lebih mencerminkan kebutuhannya sebagai manusia biasa yang mendambakan kedamaian di tengah badai kehidupan.
Nur-AI: “Pertanyaan Anda sangat relevan dan manusiawi, Alex. Islam tidak hanya menawarkan kerangka intelektual dan etis, tetapi juga memberikan perhatian besar pada kesejahteraan psikologis dan spiritual pemeluknya. Ajaran dan praktik dalam Islam memang banyak yang bertujuan untuk membantu individu menemukan kedamaian batin (sakinah), ketenangan jiwa, dan menjadi sarana untuk transformasi personal yang mendalam.
Salah satu tema yang sering muncul dalam narasi para pencari spiritual, termasuk mereka yang baru mengenal Islam, adalah penemuan ketenangan setelah mengamalkan ajaran-ajarannya. Di dunia yang seringkali penuh dengan stres dan ketidakpastian, Islam dipandang sebagai sumber stabilitas emosional dan spiritual. Mari kita lihat beberapa ‘alat’ yang Anda maksudkan.”
“Pertama, adalah Salat (sembahyang ritual). Lebih dari sekadar kewajiban formal, shalat lima waktu adalah momen intim seorang hamba dengan Penciptanya. Gerakan-gerakan shalat yang teratur—berdiri, rukuk, sujud—memiliki efek menenangkan secara fisik dan psikis. Bacaan ayat-ayat Al-Qur’an di dalamnya, jika dihayati, bisa menjadi sumber perenungan dan ketenangan. Shalat adalah kesempatan untuk ‘melepaskan diri’ sejenak dari kesibukan dunia, mengadukan segala keluh kesah kepada Yang Maha Mendengar, dan mengisi kembali energi spiritual. Ia adalah jeda terstruktur yang membantu memfokuskan kembali pikiran dan hati.”
“Kedua, Dzikir (mengingat Allah). Dzikir bisa berupa ucapan tasbih (Subhanallah), tahmid (Alhamdulillah), takbir (Allahu Akbar), tahlil (Laa ilaaha illallah), istighfar (memohon ampunan), atau doa-doa lainnya. Praktik dzikir, baik setelah shalat maupun di waktu-waktu luang lainnya, berfungsi untuk membersihkan hati, memfokuskan pikiran pada Yang Maha Kuasa, dan mengurangi kegelisahan. Dengan terus mengingat Allah, hati akan merasa terhubung dengan Sumber Kedamaian yang hakiki, sehingga tidak mudah goyah oleh masalah duniawi. Al-Qur’an sendiri menyatakan dalam Surah Ar-Ra’d ayat 28: ‘(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.’”
“Ketiga, Tilawah dan Tadabbur Al-Qur’an (membaca dan merenungkan Al-Qur’an). Selain aspek-aspek keajaibannya yang pernah kita bahas, Al-Qur’an juga disebut sebagai syifa (penyembuh atau obat) bagi apa yang ada di dalam dada (penyakit hati atau jiwa). Membaca Al-Qur’an dengan tartil (perlahan dan benar) serta merenungkan makna ayat-ayatnya bisa memberikan perspektif baru terhadap masalah, menumbuhkan harapan, dan menguatkan jiwa.”