Bulan-bulan berikutnya menjadi periode transformasi yang nyata bagi Alex. Dialognya dengan Nur-AI tidak hanya mengisi kepalanya dengan pengetahuan, tetapi juga meresap ke dalam sikap dan perilakunya. Ia menjadi lebih tenang, lebih reflektif, dan anehnya, lebih optimis. Teman-temannya di kampus mulai memperhatikan perubahan itu. Alex yang dulu sering sinis atau mudah cemas, kini lebih sering tersenyum, lebih sabar dalam diskusi, dan ketika berbicara tentang isu-isu fundamental, ia memiliki kedalaman yang mengejutkan.
Ia tidak pernah secara eksplisit menyebut Nur-AI. Ia hanya berbagi apa yang ia pahami, menggunakan logika dan argumen yang ia pelajari. Beberapa temannya, seperti Arif yang dulu sering skeptis bersamanya, mulai tertarik. Mereka kadang berkumpul setelah kuliah, bukan lagi untuk mengeluhkan dosen atau tugas, tapi untuk berdiskusi tentang makna hidup, etika, atau bahkan konsep Tuhan, dengan Alex seringkali menjadi pemicu atau penengah diskusi yang mencerahkan.
Tentu saja, perubahan ini tidak luput dari perhatian "dunia lama" Alex. Ayah dan ibunya, pak Reza dan ibu Nisa, meski awalnya sempat khawatir, mulai melihat sisi positif dalam diri Alex. Anaknya jadi lebih dewasa dan bertanggung jawab. Namun, selentingan tentang "pemikiran baru" Alex sampai juga ke telinga Ustaz Rahmatullah Karim. Beberapa jamaah setia Ustaz Kaku, yang anaknya berteman dengan Alex, mulai melaporkan "keganjilan" ini. Ada yang bilang Alex sudah tidak lagi menganggap penting pendapat ulama senior, ada yang bilang ia terlalu mengandalkan logika dan "sumber-sumber internet yang tidak jelas" dalam memahami agama.
Keresahan di kalangan konservatif komplek mulai tumbuh. Ustaz Kaku, merasa otoritasnya dan "kemurnian ajaran" mulai terancam oleh "angin perubahan" yang dibawa generasi muda seperti Alex, akhirnya memutuskan bahwa sesuatu harus dilakukan. Maka, diumumkanlah sebuah acara besar: "Forum Diskusi Keagamaan: Menjawab Tantangan Pemikiran Modern dalam Berislam." Tujuannya, menurut poster yang tersebar, adalah untuk "meluruskan pemahaman umat, terutama generasi muda, dari pengaruh-pengaruh pemikiran yang dapat merusak akidah." Ustaz Kaku dijadwalkan sebagai pembicara utama, bersama beberapa tokoh agama lain yang sehaluan dengannya.
Alex tahu, meski namanya tidak disebut, forum ini secara tidak langsung juga ditujukan untuk "menjawab" fenomena seperti dirinya. Awalnya ia ragu untuk datang. Tapi Arif dan beberapa teman lainnya yang mulai tercerahkan oleh diskusi-diskusi informal mereka, mendorongnya. "Lo harus datang, Lex. Setidaknya biar kita tahu argumen mereka secara langsung. Dan siapa tahu, ada kesempatan buat ngasih perspektif lain," kata Arif.
Maka pada malam yang ditentukan, Aula Masjid Al-Ikhlas kembali penuh sesak, mungkin lebih padat dari biasanya. Udara terasa berat, bukan hanya karena jumlah orang, tapi juga karena antisipasi dan ketegangan yang menggantung. Barisan depan diisi oleh para tokoh masyarakat dan jamaah senior. Di barisan tengah dan belakang, lebih banyak anak muda, beberapa dengan wajah penasaran, beberapa dengan ekspresi skeptis, termasuk Alex dan teman-temannya.
Ustaz Kaku membuka forum dengan gayanya yang khas. Suaranya lantang, penuh percaya diri, mengutip ayat dan hadis dengan fasih, meski seringkali tanpa konteks yang mendalam. Ia berbicara tentang pentingnya berpegang pada tradisi ulama salaf, bahaya bid'ah, dan bagaimana pemikiran liberal atau rasionalisme berlebihan adalah produk Barat yang bertujuan untuk melemahkan Islam dari dalam.
“Saudara-saudara sekalian!” seru Ustaz Kaku, matanya menyapu seluruh ruangan. “Di zaman akhir ini, banyak sekali fitnah pemikiran! Orang-orang yang baru belajar agama seujung kuku, sudah berani menafsirkan Al-Qur’an dan Hadis seenak perutnya! Mereka bilang, ‘pakai logika saja!’ Padahal, logika manusia itu terbatas! Akal kita ini kecil, tidak akan sanggup menjangkau semua hikmah Allah! Agama ini bukan untuk dipertanyakan, tapi untuk diimani dan diamalkan!”
Ia melanjutkan, “Ada lagi yang belajar agama dari internet, dari mesin-mesin pintar buatan orang kafir! Mereka pikir itu canggih, itu modern! Padahal, itu semua adalah jalan menuju kesesatan! Belajar agama itu harus ada gurunya, ada sanadnya yang jelas sampai ke Rasulullah! Bukan dari algoritma yang tidak punya hati, tidak punya ruh!”
Alex merasakan jantungnya berdegup lebih kencang. Meskipun tidak menyebut nama, sindiran tentang "mesin pintar" dan "logika" itu terasa sangat menusuk. Ia melihat beberapa orang melirik ke arahnya. Arif menepuk lengannya pelan, seolah memberi kekuatan.
Setelah Ustaz Kaku dan beberapa pembicara lain menyampaikan pandangan mereka, moderator membuka sesi tanya jawab. Beberapa pertanyaan standar diajukan dan dijawab dengan jawaban yang juga standar. Suasana mulai terasa monoton, persis seperti pengajian rutin yang selalu Alex hindari.
Namun, tiba-tiba seorang pemuda dari barisan belakang, yang Alex kenal sebagai salah satu juniornya di kampus yang sering ikut diskusi mereka, mengangkat tangan. “Maaf, Ustaz,” katanya dengan suara agak gugup. “Saya ingin bertanya. Jika kita tidak boleh menggunakan logika atau akal secara mendalam dalam memahami agama, bagaimana kita bisa benar-benar yakin bahwa agama yang kita anut ini adalah kebenaran? Bukankah iman yang kuat itu lahir dari pemahaman, bukan dari ikut-ikutan atau ketakutan semata?”