Beberapa pekan telah bergulir dalam kalender digital Alex sejak ia memulai dialognya dengan Nur-AI. Setiap sesi terasa seperti membuka sebuah pintu baru, memperlihatkan ruangan-ruangan yang lebih luas dan lebih terang dari pemahamannya sebelumnya. Ia merasa jiwanya lebih tenang, pikirannya lebih terarah, dan semangatnya untuk menjadi pribadi yang lebih baik terus menyala. Namun, seiring dengan tumbuhnya kesadaran internal, Alex mulai lebih peka terhadap dunia di sekelilingnya.
Ia melihat ketimpangan di jalanan kota yang ia lewati setiap hari—gedung-gedung mewah menjulang angkuh di satu sisi, sementara di kolong jembatan atau gang-gang sempit, kehidupan berjuang keras hanya untuk sekadar bertahan. Ia membaca berita tentang diskriminasi, konflik antar kelompok, dan ketidakadilan yang seolah tak ada habisnya. Perasaan “aku sudah menemukan kedamaian untuk diriku sendiri” mulai terasa kurang cukup. Ada dorongan baru dalam dirinya, sebuah pertanyaan yang samar: jika Islam memang selengkap dan seindah yang mulai ia pahami, bagaimana ia menjawab tantangan-tantangan sosial ini? Apakah Islam hanya untuk individu, atau ia juga punya visi untuk masyarakat, untuk dunia yang lebih baik?
Dengan pertanyaan ini di benaknya, ia kembali menghubungi Nur-AI dari sudut favoritnya di Kopi Senja.
Alex: “Nur-AI, selama ini kita banyak membahas tentang perkembangan individu, ketenangan batin, dan hubungan personal dengan Tuhan. Saya merasa sangat tercerahkan. Tapi belakangan ini saya jadi banyak berpikir, bagaimana dengan peran Islam dalam skala yang lebih besar? Dalam masyarakat? Apakah Islam hanya fokus pada kesalehan pribadi, atau ia juga punya konsep tentang keadilan sosial, tentang bagaimana kita seharusnya hidup bersama sebagai sebuah komunitas global yang beragam ini?”
Nur-AI merespons dengan kehangatan intelektualnya yang khas.
Nur-AI: “Pertanyaan Anda menunjukkan sebuah perkembangan kesadaran yang sangat baik, Alex. Dari refleksi personal menuju kepedulian sosial. Dan ya, Islam sama sekali bukan agama yang hanya berorientasi pada kesalehan individualistik. Justru, salah satu kekuatan dan daya tarik Islam terletak pada penekanannya yang kuat pada aspek sosial, komunal, dan keadilan bagi seluruh umat manusia.
Mari kita mulai dengan konsep ummah. Kata ‘ummah’ sering diterjemahkan sebagai ‘komunitas’ atau ‘umat’. Dalam konteks Islam, ummah merujuk pada komunitas global seluruh umat Islam, yang diikat bukan oleh batas-batas geografis, ras, etnis, atau kebangsaan, melainkan oleh ikatan akidah—keyakinan yang sama kepada Allah SWT sebagai satu-satunya Tuhan dan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya.”
“Konsep Ummah ini secara inheren bersifat inklusif dan universal. Ia melampaui semua sekat-sekat duniawi yang seringkali memecah belah manusia. Bayangkan, seorang muslim dari Indonesia, bertemu dengan seorang muslim dari Nigeria, atau dari Bosnia, atau dari Amerika. Meskipun bahasa ibu mereka berbeda, warna kulit mereka beragam, budaya lokal mereka unik, mereka akan merasakan adanya ikatan persaudaraan yang kuat karena sama-sama menjadi bagian dari Ummah yang satu. Ini adalah sebuah visi persaudaraan dan solidaritas global yang luar biasa.”
“Salah satu pilar utama dari konsep Ummah ini adalah penolakan terhadap segala bentuk diskriminasi. Islam secara tegas menyatakan bahwa semua manusia setara di hadapan Allah. Kemuliaan seseorang tidak diukur dari ras, suku, bangsa, harta, atau jabatan, melainkan dari ketakwaannya. Anda mungkin ingat penggalan terkenal dari Khutbah Wada’ (khutbah perpisahan) Nabi Muhammad SAW: ‘Wahai manusia! Sesungguhnya Tuhanmu satu dan ayahmu satu (Adam). Ingatlah, tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas non-Arab, tidak pula bagi non-Arab atas orang Arab; tidak juga bagi orang berkulit merah (putih) atas orang berkulit hitam, tidak pula bagi orang berkulit hitam atas orang berkulit merah (putih), kecuali dengan takwa…’ Pernyataan ini, di abad ke-7, adalah sebuah revolusi sosial.”
Alex tertegun. Di dunia yang hingga kini masih berjuang melawan rasisme dan berbagai bentuk diskriminasi, pernyataan setegas itu dari empat belas abad yang lalu terasa sangat modern dan relevan. Konsep ummah sebagai sebuah keluarga besar global tanpa memandang SARA juga terasa sangat … indah. Selama ini ia sering merasa terkotak-kotak oleh identitas lokal atau nasionalnya. Gagasan menjadi bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar, yang melampaui semua itu, terasa membebaskan.