Nur AI

Shabrina Farha Nisa
Chapter #12

Kedamaian Sang Pencari

Langit senja memayungi kota dengan semburat jingga dan nila, menciptakan siluet damai pada gedung-gedung yang beberapa jam lalu masih riuh oleh kesibukan. Alex duduk di balkon kamarnya, sebuah buku tafsir Al-Qur’an yang baru dibelinya terbuka di pangkuan. Angin sepoi-sepoi membelai wajahnya. Beberapa bulan telah berlalu sejak forum diskusi di Masjid Al-Ikhlas, sebuah peristiwa yang, meski menegangkan, justru menjadi semacam penanda babak baru dalam hidupnya.

Dulu, sore seperti ini mungkin akan ia habiskan dengan gelisah, pikirannya dipenuhi kecemasan akan tugas kuliah yang belum selesai, atau pertengkaran kecil dengan teman, atau sekadar rasa hampa yang tak jelas ujung pangkalnya. Tapi kini, ada sesuatu yang berbeda. Ada ketenangan yang mengalir lembut dalam dirinya, seperti sungai bawah tanah yang menyejukkan dari dalam.

Pagi tadi, misalnya, ia menghadapi ujian Kalkulus yang terkenal sulit. Dulu, ia pasti akan panik semalaman, susah tidur, dan datang ke ruang ujian dengan perut mulas. Tapi kali ini, ia belajar dengan optimal, berdoa memohon kemudahan, lalu menyerahkan hasilnya pada Yang Maha Mengatur. Saat mengerjakan soal, ia fokus, dan ketika ada soal yang buntu, ia tidak panik. Ia mengambil napas, mencoba lagi, dan jika memang buntu, ia lanjutkan ke soal berikutnya dengan ikhlas. Hasilnya belum keluar, tapi apapun itu, Alex merasa ia telah melakukan yang terbaik yang ia bisa, dan sisanya bukan lagi bebannya. Kedamaian semacam inilah yang dulu hanya bisa ia impikan.

Perubahan paling nyata terasa dalam cara ia menjalankan praktik-praktik agamanya. Salat lima waktu, yang dulu seringkali terasa seperti rutinitas mekanis yang terburu-buru agar cepat selesai, kini menjadi momen yang ia nanti-nantikan. Sebelum takbir, ia mengambil waktu sejenak untuk mengosongkan pikiran dari urusan dunia, mencoba merasakan kehadiran-Nya. Setiap gerakan, setiap bacaan, kini ia usahakan untuk dihayati. Rukuk bukan lagi sekadar membungkuk, tapi sebuah ketundukan. Sujud bukan lagi sekadar menempelkan dahi di lantai, tapi sebuah pengakuan akan kelemahan diri di hadapan keagungan ilahi, sebuah momen penyerahan total yang anehnya justru terasa membebaskan dan menguatkan. Ia teringat penjelasan Nur-AI tentang shalat sebagai momen intim, jeda terstruktur untuk mengisi ulang energi spiritual. Kini, ia benar-benar merasakan manfaatnya.

Membaca Al-Qur’an juga tak lagi sama. Dulu, ia mungkin hanya mengejar target khatam tanpa benar-benar meresapi artinya. Sekarang, dengan bantuan buku tafsir dan sumber-sumber yang pernah Nur-AI tunjukkan, ia membaca perlahan, ayat demi ayat, mencoba menangkap pesan dan hikmah di baliknya. Kadang satu ayat saja bisa membuatnya termenung lama, menemukan relevansinya dengan kehidupannya, merasakan keindahan bahasanya meski hanya melalui terjemahan, dan merasakan getaran kebenaran yang menenangkan jiwanya. Al-Qur’an kini terasa hidup, berdialog dengannya.

Dzikir, yang dulu hanya komat-kamit tak bermakna setelah shalat, kini menjadi jangkar bagi hatinya. Di tengah kesibukan, saat pikirannya mulai kusut atau hatinya mulai gelisah, ia akan mengambil jeda sejenak, melafalkan tasbih, tahmid, atau sekadar mengingat Allah dalam hati. Dan seperti sihir, kegaduhan batin itu perlahan mereda, digantikan oleh sakinah, ketenangan yang dijanjikan.

Lihat selengkapnya