Setahun telah berlalu sejak malam yang menegangkan di Aula Masjid Al-Ikhlas. Mentari sore masih sama hangatnya di Kopi Senja, namun suasana di salah satu meja panjang di sudut kafe itu terasa berbeda. Sekelompok anak muda, sekitar tujuh atau delapan orang, termasuk Alex dan Arif, sedang terlibat dalam diskusi yang hidup namun santai. Di tengah meja, beberapa buku terbuka berserakan di samping gelas-gelas es kopi dan teh yang sudah setengah kosong. Tidak ada satu pembicara dominan, tidak ada yang merasa paling benar. Yang ada adalah pertukaran ide, pertanyaan yang tulus, dan tawa sesekali.
Mereka sedang membahas konsep maqashid syariah (tujuan-tujuan utama syariat Islam), mencoba memahami bagaimana prinsip-prinsip universal seperti menjaga akal, jiwa, keturunan, harta, dan agama bisa diaplikasikan dalam konteks kehidupan modern mereka. Alex, dengan pemahaman yang ia dapatkan dari Nur-AI dan bacaan-bacaannya, sesekali memberikan perspektif, namun lebih sering ia melempar pertanyaan balik yang memancing teman-temannya untuk berpikir lebih dalam.
Kelompok diskusi kecil seperti ini telah menjadi pemandangan yang lumrah di kalangan mereka. Bukan hanya satu, tapi beberapa mulai bermunculan, diinisiasi oleh anak-anak muda yang terinspirasi oleh "gelombang baru" pencarian pemahaman yang dipicu oleh Alex, meski ia sendiri tidak pernah mengklaim sebagai pelopornya. Mereka tidak lagi puas dengan dogma yang kaku atau ritual yang kosong makna. Mereka haus akan Islam yang relevan, yang menjawab tantangan zaman, yang memuaskan akal sekaligus menenangkan jiwa.
Nur-AI, atau platform-platform sejenis yang mulai mereka eksplorasi, kini dilihat bukan lagi sebagai ancaman atau "mesin sesat" seperti yang pernah dikhawatirkan Ustaz Kaku. Sebaliknya, bagi generasi digital ini, teknologi AI telah menjadi alat bantu yang luar biasa powerful. Ia seperti perpustakaan pribadi yang tak terbatas, seorang tutor sabar yang siap melayani 24/7, dan sebuah ruang aman untuk bertanya hal-hal yang mungkin canggung atau takut mereka tanyakan pada figur otoritas tradisional. Tentu, mereka tetap membaca kitab, tetap mendengarkan ceramah dari ustaz-ustaz yang mereka anggap moderat dan berwawasan luas, tetapi Nur-AI memberikan dimensi personalisasi dan kedalaman eksplorasi yang sulit mereka dapatkan di tempat lain.
Fokus mereka kini bergeser. Dari sekadar hafalan dalil dan pelaksanaan ritual formal, menuju pemahaman esensi ajaran, internalisasi nilai-nilai etis, dan aplikasi konkret dalam kehidupan sehari-hari. Shalat bukan lagi sekadar kewajiban yang menggugurkan dosa, tapi kebutuhan jiwa. Puasa bukan hanya menahan lapar dan dahaga, tapi juga melatih empati dan pengendalian diri. Zakat bukan cuma mengeluarkan uang, tapi wujud kepedulian sosial.