Nusantara Cyber

Farikha Salsabilla Putri
Chapter #4

Lorong Tikus

Kau gila?" Suara Dalang serak, di antara dengung mesin yang sekarat di ruangan Riko. "Menghapus Sari? Itu bukan sekadar hapus data, Riko. Itu eksekusi digital. Seluruh IKN akan menjerit kalau jejak Agen Cakra Global level atas tiba-tiba lenyap. Bahkan aku, di masa lalu, tidak akan berani menyentuh aset semacam itu." 

Riko tergelak, suara tawanya seperti gesekan logam berkarat. Ia mencondongkan tubuhnya dari balik tumpukan monitor, asap rokok digital mengepul tipis dari bibirnya. "Justru itu intinya, Jaka. Kalau kau memang 'Dalang' yang baru, sang maestro yang namanya dibisikkan di jalur data, kau harusnya bisa membuat seseorang lenyap tanpa suara ledakan. Bukankah itu senimu? Mengubah kenyataan tanpa meninggalkan jejak?" 

Dalang maju selangkah, aroma ozon dari bengkelnya yang hancur masih samar-samar menempel di bajunya, bercampur dengan bau timah solder yang menyengat di sini. Ada sesuatu dalam tatapan Riko yang membuatnya waspada, tatapan seorang penjudi yang mempertaruhkan segalanya. 

"Aku tidak membunuh lagi. Tidak ada lagi darah digital di tanganku," desis Dalang, lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri. "Apa maumu darinya? Balas dendam?" 

"Perlindungan," jawab Riko, suaranya berubah datar dan dingin. Matanya menyipit. "Sari tahu terlalu banyak. Dia bukan sekadar letnan, dia anjing pelacak pribadi Satya. Dia hafal setiap tikus got di kota ini, termasuk aku. Selama identitas Sari masih ada di Grid Nusantara, selama akses Level 7 miliknya aktif, kepalaku jadi sasaran empuk."

Dalang memprosesnya. "Jadi, kau mau aku mencabutnya dari sistem Cakra Global. Aksesnya, identitasnya, catatan gajinya. Menjadikannya hantu bagi mereka, tapi tetap hidup di jalanan." 

"Tepat," Riko mengangguk, dagunya bertumpu pada jemarinya yang kurus. "Tugas mustahil. Lapisan keamanan Sari lebih tebal dari perisai Bunda Pertiwi. Dia dilindungi secara fanatik. Jika kau bisa melakukannya, tanpa Cakra Global sadar itu serangan dari luar, aku akan berikan Bintang Tujuh. Dan peta menuju tempat Laras disekap." 

Napas Dalang tercekat. Laras. Nama itu seperti jangkar yang menariknya kembali ke kenyataan pahit. "Aku terima," katanya, mantap. Ini harga yang gila, tapi harga nyawa adiknya tidak ternilai. "Tapi aku butuh info itu sekarang. Nama tempatnya. Aku tidak akan bergerak buta." 

Riko menyeringai tipis. "Tentu saja. Aku juga tidak suka membeli kucing dalam karung. Satya tidak bodoh. Laras tidak akan dia simpan di tempat yang bisa diendus pelacak murahan. Dia tidak di IKN pusat. Dia di Benteng Garuda." 

"Benteng Garuda?" Dalang mengernyit. Nama itu memicu gema dari masa lalu, instalasi militer tua dari zaman sebelum IKN berdiri megah. "Tempat itu seharusnya sudah dikubur dalam beton saat Distrik 5 dibangun." 

"Fisiknya, ya. Digitalnya, tidak pernah," Riko menjelaskan, menyalakan sebatang rokok digital baru. "Itu laboratorium pribadi Satya. Dulu, sebelum jadi mentor peretas, dia itu ahli genetika gila. Dia tidak pernah meninggalkan proyek lamanya. Ada aktivitas data aneh di bawah Distrik 5, di zona yang resmi ditandai 'terlarang'. Mereka tidak pakai jaringan Nusantara. Mereka punya jaringan sendiri, gelap dan terisolasi. Aku menyebutnya 'Sarana Data'." 

"Sarana Data ... dan Laras ada di sana, terhubung ke Kunci Genetika," Dalang menyimpulkan, otaknya berpacu memetakan rute dan risiko. 

Echo: Peringatan, Dalang. 'Sarana Data' adalah jaringan yang dicurigai sebagai basis data terisolasi Satya. Jika benar, itu labirin yang jauh lebih rumit daripada Arkadia. Kita butuh pintu belakang, bukan sekadar peta. 

"Aku butuh pintu belakang, Riko. Kau menjanjikan Bintang Tujuh," kata Dalang, matanya menyorot tajam. 

Riko mengembuskan asap. "Bintang Tujuh adalah kuncinya. Bukan kunci fisik, tapi kunci enkripsi untuk berkomunikasi di luar pengawasan IKN. Kunci itu dipecah jadi tujuh bagian. Aku hanya punya satu." 

"Di mana?"

Riko menunjuk dengan dagunya ke sebuah hard drive usang yang teronggok di sudut ruangan, tertutup debu tebal. "Fisiknya di sana. Tapi hash enkripsinya terkubur di dalam firewall-ku, di balik Log Chimera yang tadi kau sentuh. Kau sudah buktikan bisa masuk. Sekarang, buktikan kau bisa keluar tanpa meninggalkan bekas. Ambil kuncinya, duplikasi hash-nya, dan kembalikan ke tempatnya. Aku harus tau kau bisa bergerak seperti hantu." 

"Ujian lagi," Dalang mendengus. "Kau benar-benar gak percaya padaku." 

"Aku gak percaya siapapun, Jaka. Apalagi hantu yang baru bangkit dari kubur," balas Riko dingin. "Lakukan ini, dan semua yang kutahu tentang Satya dan Sari jadi milikmu. Tapi kau harus bergerak. Sekarang." 

"Kenapa terburu-buru?"

Monitor di samping Riko berkedip-kedip merah. "Kau pikir sentuhan kecilmu di Log Chimera gak meninggalkan riak? Alarm senyapku terhubung ke jaringan pribadinya Sari. Dia tahu seseorang baru saja mengintip data yang sudah dia incar enam bulan. Dia pikir itu musuh lamanya, bukan 'Ghost' yang sudah mati." 

"Dia akan mengirim tim," Dalang menyadari dengan dingin. 

"Dia sudah mengirimnya," Riko bergumam, matanya terpaku pada monitor. "Ada tim pengintai Cakra Global bergerak dengan pola aneh di Sub-Level 10. Mereka tidak sedang patroli. Mereka berburu." 

Echo: Konfirmasi. Tiga unit Cakra Global menyimpang dari rute. Estimasi tiba di sektor ini: enam menit. Mereka akan menyisir area. 

"Enam menit," Dalang menghela napas. Waktu terasa menyempit. "Tidak cukup untuk menyalin Bintang Tujuh tanpa terdeteksi." 

"Kau harus membuatnya cukup," desak Riko. "Aku akan menahan mereka. Kubanjiri jaringan lokal dengan 'sampah' video dari Distrik Lampu Merah. Tapi kalau mereka sampai di sini sebelum transfer selesai, kita berdua tamat."

Tanpa pikir panjang, Dalang menyambar hard drive kuno itu. Tangannya bergerak lincah, menyambungkan perangkat itu ke port diagnostik di meja Riko, lalu menghubungkannya dengan Terminal Alpha miliknya. Laras. Hanya itu yang ada di kepalanya. 

"Hash Bintang Tujuh milikmu, Riko. Aku akan mengembalikannya utuh." 

Lihat selengkapnya